Jakarta_Kspsinews,- Ketua Umum DPP Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Yorrys Raweyai menyampaikan “Arah Kinerja KSPSI Masa Depan”.
Pegerakan Buruh/Pekerja di dunia tidak lepas dengan usaha untuk menegaskan eksistensi kemanusiaan dan hakikat manusia sebagai insan pekerja. Karena itu dapat dipahami jika pada abad ke-18 Serikat Buruh (SB) berkembang di Eropa sebagai wadah perlawanan atas eksploitasi dan kapitalisasi terhadap kalangan buruh. Salah satu tuntutan dan persoalan yang mengemuka adalah eksplotasi jam kerja yang dipandang tidak berkeadilan dan berkemanusiaan. Buruh menuntut 8 jam kerja per hari.
Pergerakan ini berkembang di berbagai negara, termasuk di Amerika Serikat. Tragedi 1 Mei di Hay Mart, Chicago Amerika Serikat. Gerakan masif kaum buruh dianggap dalang atas berbagai kerusuhan seiring dengan berkembangnya paham komunisme. Gerakan buruh pun dipandang identik dengan gerakan komunisme dan sosialisme. Kelompok ideolog sosialis dalam Konverensi II Sosialis Internasional di Paris tahun 1889 memutuskan 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional.
Pada abad ke-19, tepatnya 11 April 1919 organisasi buruh International Labour Organization (ILO) didirikan di bawah liga bangsa-bangsa dan dimasukkan ke dalam PBB sebagai badan khusus pada tahun 1946. ILO bahkan disebut sebagai badan tertua dalam PBB yang senantiasa terfokus pada kerja sama dan saling penguatan antara pemerintah, pengusaha dan pekerja. ILO menekankan perlunya pekerja menikmati kebebasan, kesetaraan, keamanan dan kemanusiaan. Bisa dimaknai juga bahwa eksistensi serikat buruh pada dasarnya merupakan usaha yang sudah diusung sejak lama dengan subtansi perjuangan untuk meuwujudkan keadilan sosial dan bekerlanjutan hingga saat ini. Pada titik tertentu, buruh merupakan pihak yang lemah di antara pemerintah dan pengusaha sehingga membutuhkan perlakuan afirmatif dan perhatian utama dari masa ke masa.
Gerakan Buruh di Indonesia
Di Indonesia, pegerakan buruh telah berkembang sejak zaman kolonial. Buruh dikategorikan sebagai sekelompok kaum pekerja, kuli, tani, pegawai pemerintah, buruh kereta api, perkebunan, pertambangan, industri, jasa, pelabuhan. Saat itu, buruh yang bergerak di bidang perkeretaapian merupakan figur penting dalam memobilisasi pergerakan.
Pada tahun 1905 Serikat Buruh pertama di Jawa dibentuk dalam perusahaan kereta api. Zaman kolonial identik dengan penggunaan tenaga fisik yang cenderung berlebihan dan mengabaikan durasi kerja sekaligus dengan upah yang minim. Sejak zaman kolonial, serikat buruh sesuai dengan bidang keburuhannya telah berkembang pesat. Kurang lebih 100 serikat buruh dengan 100.000 anggota terkenal saat itu.
Pada era kemerdekaan, eksistensi pergerakan buruh cenderung diterima dengan baik dan menjadi salah satu pihak yang terlibat dalam pergerakan kemerdekaan. Beberapa undang-undang (UU No 33 Tahun 1947 dan UU No 12 Tahun 1948) melindung eskistensi buruh, perlindungan, durasi jam kerja, cuti haid dan buruh perempuan.
Tipikal pemerintahan yang cenderung mengusung perlawanan pada idelologis kapitalisme dan dilanjutkan dengan demokrasi liberal hingga tahun 1959 telah menempatkan pergerakan dan perjuangan buruh memperoleh tempat maksimal. Kala itu lahir beberapa undang-undang yang berpihak pada buruh, seperti UU No 21/1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan yang berisi jaminan untuk hak berunding secara kolektif bagi serikat buruh. Juga UU No. 22/1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yang mengkanalisasi perselisihan ke lembaga semi-pengadilan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, termasuk larangan pemutusan hubungan kerja tanpa izin terlebih dahulu dari negara.
Pada era orde baru, suasana sosial dan politik cenderung dinamis dan berubah. Partai Komunis Indonesia dan ideologi komunisme dipandang sebagai ancaman. Ideologi yang mengusung perlawanan dan identik dengan perlawanan terhadap stabilitas kekuasaan yang memihak kelas atas tersebut memperoleh perlakuan berbeda dengan era sebelumnya. Pada gilirannya, pergerakan buruh yang juga senada dengan perlawanan kelas (pekerja) dipandang sebagai ancaman bahkan sebagai bagian dari ideologi komunisme. Beberapa organisasi buruh dibekukan dan dianggap subversif. Beberapa organisasi tetap dipertahankan karena dipandang tidak terlalu progresif. Salah satunya adalah Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI).
Orde Baru juga tetap mempertahankan peraturan dan perundang-undangan yang melindungi kaum buruh, meski tidak menjalankannya. Kebijakan ini sering disebut sebagai policy of law non-enforcement. Pada saat yang sama, pada tahun 1985, Menteri Tenaga Kerja, Soedomo, mengganti kata “Buruh” menjadi “Pekerja”, sehingga Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) berganti menjadi SPSI. Meski demikian, pada kelanjutannya, keberadaan SPSI tetap menjadi wadah bagi buruh untuk tetap memanfaatkan celah organisasi untuk menyuarakan aspirasi dan gagasannya.
Di masa reformasi, perubahan sosial dan politik kembali menjadikan serikat buruh dan serikat pekerja beradaptasi dengan suasana baru. Upaya untuk menghadirkan demokrasi susbtansial di berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara membuat kemunculan berbagai peraturan dan perundang-undangan yang memaksimalkan eksistensi kalangan buruh dan pekerja. Pada masa awal itulah Indoensia meratifikasi Konvensi ILO No 87 yang menjamin hak dan berserikat bagi buruh. Sekaligus melahirkan UU No 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang menjadi dasar bagi munculnya organisasi-organisasi buruh dan pekerja yang independen dan mandiri.
Pada tahun 2003 dan 2004, dilahirkan UU tentang ketenagakerjaan melalui UU No 13 Tahun 2003 dan UU No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. UU No 21 Tahun 2000 sesungguhnya merupakan langkah awal yang baik bagi pengakuan negara atas eksistensi kalangan buruh dan pekerja secara organisasional, khususnya hak asasi untuk berserikat dan berkumpul serta menyuarakan pendapat yang dijamin oleh konstitusi. Puluhan tahun sebelumnya, eksistensi tersebut telah dibungkam dan tidak diberi ruang untuk bergerak.
Meski demikian, berbagai kompleksitas persoalan sosial dan politik, ekonomi dan budaya, pengakuan terhadap eksistensi tersebut masih membuat gerakan buruh dan pekerja masih berada dalam posisi tawar yang rendah. Pada kenyataannya, kita tidak dapat memungkiri bahwa kaum pekerja merupakan kaum “lemah” yang membutuhkan perilaku afirmatif dan dukungan dari pemerintah dan pengusaha dari berbagai aspek, baik peningkatan keahlian, pembinaan maupun pengawasan. Dukungan tersebut tidak berarti memosisikan mereka selevel lebih rendah. Tapi bergerak dalam satu nafas yang sama, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan sosial tersebut bersifat universal dan tidak boleh disekat berdasarkan kelas sosial maupun kepentingan.
Minimnya paradigma keadilan sosial itulah yang membuat pola pikir tentang buruh dan pekerja masih centang-perenang dan tidak jelas arah dan tujuannya. Meski telah jelas tujuan dari serikat pekerja dan buruh adalah membina, melindungi dan menyejahterakan pekerja melalui hubungan industrial yang harmonis, namun perlakuan terhadap pekerja dan buruh yang belum berorientasi pada keadilan, membuat persoalan ketenagakerjaan hanya berkutat pada masalah klasik seputar upah, kesempatan kerja, kapasitas dan kualitas serta masa depan tenaga kerja.
Belum lagi saat ini ketika UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja masih menjadi persoalan sosial dan yuridis. Dampak turunan dan isu liar yang berkembang cenderung sulit dikanalisasi sebagai sebentuk perubahan. Sebagian besar dipandang sebagai bentuk ketidakberpihakan kekuasaan terhadap kalangan pekerja yang diinjeksi dan dipaksakan dalam sebuah nomenklatir peraturan dan perundang-undangan. Tanpa kebijakan yang konkrit dan relevan bagi pembinaan, perlindungan dan pembinaan bagi pekerja dan buruh, maka situasi ini akan semakin sulit terkondisikan dengan baik. Justru akan melahirkan pihak-pihak tertentu yang menjadikannya sebagai alat tukar (bargaining) kepentingan pragmatis antara kaum pekerja dengan pemerintah dan pengusaha.
Tantangan Ke Depan
Berkaca pada sejarah, maka atmosfir pergerakan buruh dan pekerja sesungguhnya tidak lepas dari beberapa hal: 1) perlawanan atas eksploitasi; 2) Ideologisasi; 3) mobilisasi; 4) tuntutan globalisasi. Sejatinya atmosfir ini perlu dimaknai sebagai perkembangan sosial dan politik serta ekonomi yang sejalan dengan hakikat organisasi buruh dan pekerja dalam memaknai zamannya.
Gerakan pekerja dan buruh adalah gerakan yang berkelanjutan (sustainable). Karena itu, diperlukan respons berbeda di setiap zaman, sesuai dengan tuntutan yang sedang melingkupinya. Saat demokrasi telah menjadi narasi bersama, maka saat ini organisasi serikat pekerja dan buruh memerlukan penguatan internal yang secara khususnya mampu mengembangkan kualitas dan kapasitas serta jaringan organisasi agar berkembang lebih baik.
Perlawanan terhadap kekuasaan tidak lagi dapat dimaknai seperti masa lalu memaknainya. Sebab kekuasaan saat ini yang secara khusus diduduki oleh para pemangku kebijakan dan pengambli keputusan (regulator) tidak lagi sepenuhnya kebal dari kritik dan pengawasan. Mereka bahkan banyak yang berangkat dari rahim organisasi pekerja dan buruh, atau paling tidak, merupakan para ideolog perlawanan yang secara bersama-sama menyuarakan ketidakadilan dan menentang kesewenang-wenangan kekuasaan masa lalu.
Organisasi Serikat Pekerja yang kuat dan berdikari akan mampu berbicara banyak di kancah yang lebih besar dan luas. Juga mampu menjelaskan dirinya sebagai bagian dari perubahan sosial dan politik serta ekonomi. Pada gilirannya, pemerintah dan pengusaha akan menjadikan mereka sebagai agent of change sekaligus agent of idea (penggagas ide) dan pemberi solusi bagi persooalan ketenagakerjaan.
Mereka juga sudah harus terbiasa untuk berbicara secara arif dan bijaksana melalui kanal-kanal sistem yang diakui secara konstitusi. Keberadaan mereka di parlemen dan di pemerintahan perlu terus dikembangkan agar mampu berbicara lebih leluasa dan didengar secara nyaring di telinga publik. Termasuk menjadikan partai-partai politik yang eksis saat ini sebagai mitra perjuangan dalam rangka menyuarakan keprihatinan dan kegelisahan.
Di luar itu, aksi-aksi mobilisasi dan parlemen jalanan memerlukan redefinisi sejauh upaya tersebut dipandang sebagai jalan yang tidak lagi dapat dihindari. Kesan publik terhadap aksi-aksi organisasi serikat pekerja yang cenderung mengganggu aktivitas masyarakat dan melahirkan kebisingan sudah waktunya untuk dielaborasi kembali. Media sosial dan teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang luas dan pesat dapat dimanfaatkan secara bijak dan profesional, yang justru mampu melahirkan resonansi yang lebih nyaring dan menyentuh substansi persoalan yang tidak hentin-hentinya disuarakan.