Jakarta_Kspsinews,- Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) melalui proyek Rantai Pasokan Asia yang Tangguh, Inklusif, dan Berkelanjutan (RISSC) menyelenggarakan workshop validasi penelitian dan analisis pekerjaan layak dan bisnis yang bertanggung jawab di industri elektronika di Indonesia serta sektor manufaktur. Workshop yang diadakan di Shangri La Hotel, Jakarta Pada Rabu, 6 Desember 2023 tersebut dihadiri unsur serikat pekerja/buruh, pengusaha dan pemerintah.
Sebagaimana diketahui bahwa Proyek “Resilient, Inclusive and Sustainable Supply Chains Asia (RISSC)” yang dicanangkan oleh program ILO-Jepang bertujuan untuk mendukung pemulihan yang berpusat pada manusia dari pandemi Covid-19 dan gangguan global lainnya yang telah mengungkap pentingnya dan rapuhnya rantai pasokan global. ILO sendiri telah menugaskan penelitian tentang Pekerjaan yang layak dan praktik bisnis yang bertanggung jawab di sektor elektronik Indonesia.
Pada pembukaan, David William selaku Manager Proyek RISSC mengatakan bahwa sasaran penerima manfaat adalah bahwa pekerja perempuan dan laki-laki, serta pengusaha di rantai pasok global terpilih, akan melihat kemajuan dalam pekerjaan yang layak dan bisnis yang bertanggung jawab, serta keberlanjutan industri yang lebih baik dan ketahanan dari intervensi proyek.
Sementara itu Project Coordinator ILO RISSC-Indonesia, Taufik Muhamad menjelaskan bahwa Penelitian yang dilakukan oleh lembaga SVARA bertujuan untuk memperbarui dan memperluas analisis situasional sebelumnya mengenai sektor manufaktur elektronik di Indonesia dan rantai pasokannya selain mengidentifikasi tantangan dan peluang utama pekerjaan layak dalam sektor ini yang akan menghasilkan rekomendasi praktis bagi pemangku kepentingan terkait untuk mendukung peningkatan dan peningkatan sektor industri.
Dari pengumpulan data yang dilakukan melalui wawancara mendalam dan diskusi kelompok terfokus dengan pemangku kepentingan terkait (pemerintah, organisasi pengusaha dan pekerja serta badan usaha) sektor elektronik di Jakarta dan Batam periode Oktober dan November 2023, penelitian tersebut membuahkan hasil dan dipaparkan sehingga sejumlah temuan, analisis dan usulan rekomendasi yang diperlukan untuk validasi lebih lanjut.
ILO melalui kegiatan ini juga mempromosikan lapangan kerja dan pekerjaan yang layak sangat penting untuk meningkatkan standar hidup, produktivitas, dan kohesi sosial. Pekerjaan yang berkualitas dan kondisi kerja yang layak juga membantu mengurangi kesenjangan, kemiskinan, dan memberdayakan masyarakat, terutama perempuan, generasi muda dan pekerja rentan lainnya. ILO telah mengembangkan Agenda Pekerjaan yang Layak (DWA) sejak tahun 2008.
Sektor Industri Elektronik menjadi salah satu sektor prioritas dalam Making Indonesia 4.0, industri elektronik telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan industri nasional. Kementerian Keuangan dalam Jakarta Global Financial Summit 2022 menegaskan bahwa lima sektor prioritas berkontribusi terhadap 60% PDB, 65% ekspor, dan 60% tenaga kerja pada tahun 2021. Khususnya elektronik, kontribusinya terhadap PDB sebesar 1,6% pada tahun 2022 (The Kementerian Perindustrian, 2023). Berdasarkan sebaran geografis, provinsi dengan jumlah pendirian pabrik elektronik terbanyak adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Kepulauan Riau, dan Banten. Batam di Kepulauan Riau menjadi salah satu pusat elektronik karena merupakan hasil dari program insentif khusus pemerintah di masa lalu untuk mengembangkan industri elektronik di Pulau Batam, di bawah kewenangan otonomi khusus pemerintah daerah pulau tersebut. Kebijakan ini dibuat pada saat itu untuk memaksimalkan manfaat kedekatannya dengan Singapura, yang sedang mengejar manufaktur dan perdagangan internasional di industri elektronik.
Arus investasi yang masuk ke industri elektronik sebesar Rp 4,12 triliun pada tahun 2022 (Kementerian Perindustrian, 2023). FDI di sektor elektronik berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, mempertahankan dan menciptakan lapangan kerja, mendukung transfer pengetahuan dan teknologi serta potensi hubungan domestik, dan membantu meningkatkan ekspor. Namun, Indonesia masih relatif membatasi industri elektronik sehingga kurang menarik bagi investor, sementara sebagian besar negara sejenis secara bertahap melonggarkan peraturan FDI mereka.
Tren ekspor elektronik mengalami peningkatan sejak tahun 2000, nilai ekspor pada tahun 2021 sebesar USD 11,8 juta atau 6% dari total ekspor. Namun ekspor Indonesia masih jauh lebih rendah dibandingkan ekspor Malaysia, yakni USD 114 miliar pada tahun 2021 atau hampir sepuluh kali lipat ekspor Indonesia.
ILO (2019) menyatakan bahwa industri elektronik di Indonesia sebagian besar hanya melayani pasar dalam negeri dan kurangnya basis pemasok yang kuat untuk bahan baku, produsen kontrak, dan penyedia jasa manufaktur elektronik; sementara itu, semua hal tersebut penting untuk integrasi dan peningkatan yang lebih besar dalam rantai pasokan global. Sementara, data Statistik Industri tahun 2000-2020 memperlihatkan adanya peningkatan output Indonesia atas produk dan komponen komputer, komunikasi, dan elektronik konsumen. Kemudian, industri elektronik lebih terhubung dengan rantai pasok regional, terlihat dari investor dalam negeri menjadi lebih terinternasionalisasi.
CEDS (2022) mengidentifikasi beberapa produk elektronik kompetitif seperti kartu pintar; sirkuit terpadu elektronik; lampu LED; perangkat telepon & peralatan transmisi suara/gambar lainnya; dan peralatan penerima televisi. Hambatan utama ekspor elektronik adalah inovasi; rata-rata tariff yang relatif tinggi sebesar 2,2 persen pada tahun 2021, sementara negara ASEAN-5 yang sebesar 0,8 persen. Serta kebijakan persyaratan kandungan lokal (LCR). CSIS (2022) menegaskan bahwa kebijakan kandungan lokal bukannya tanpa masalah. Penggunaan LCR dikritik karena kebijakan yang menghasilkan keuntungan jangka pendek, mengharuskan perusahaan untuk menggunakan input lokal dan kemudian meningkatkan output industri dan lapangan kerja, dengan mengorbankan biaya produksi dan harga konsumen yang lebih tinggi.
Serikat Pekerja/Buruh yang dihadiri oleh Joko Wahyudi (KSARBUMUSI), Sobar (KSPN), Roy Purba (KSPSI), Slamet R (KSPI), Ahmad Sumadi (FSPPG) dan Edward Marpaung (KSBSI) memberikan beberapa rekomendasi dalam perwujudan kerja layak industri elektronik diantaranya perlunya ketegasan waktu minimum pada kontrak kerja PKWT dan pemagangan, peningkatan pengawasan pelaksanaan regulasi, pengesahan RUU-KIA yang akan mendorong keadilan bagi pekerja perempuan yang hamil, dan regulasi atau standarisasi untuk uji ketuntasan pada stakeholder yang masuk dalam rantai pasok untuk memastikan bisnis yang bertanggung jawab.