Samarinda_Kspsinews,- Sebagai salah satu bagian dari konsorsium yang sedang melaksanakan proyek Transisi Energi yang Berkeadilan ( Just Energy Transition atau JET) , Kantor International Labor Organization (ILO) Jakarta mengadakan Forum Diskusi Sosial Sektor Batubara terkait dengan rencana pencapaian Net Zero Emmision (NZE) tahun 2060 di Samarinda, Selasa hingga rabu (5/9/2023). Acara yang dibuka oleh Assistant 3 Provinsi Kalimantan Timur Riza Indra Riadi, M.S, menitik beratkan pada pentingnya dialog sosial dari beberapa elemen terkait.
Dalam sambutannya, Muce Mochtar, National Project Coordinator, ILO Kantor Jakarta menjelaskan bahwa acara ini penting dilakukan dalam rangka menerima masukan maupun tanggapan para pemangku kepentingan dalam merespon dan memahami JET.
Wakil Sekretaris Jenderal DPP KSPSI, Royanto Purba yang menjadi narasumber dalam menyampaikan perspektif pekerja terhadap JET menjelaskan bahwa istilah Just Transition itu sendiri dimulai sekitar tahun 1970 yang digerakkan oleh pekerja/buruh di Amerika yang terkena dampak negatif dari perubahan industri. Dalam perkembangannya sekitar tahun 2000, just transition mulai digabungkan dengan munculnya kesadaran akan perubahan iklim yang membutuhkan energi bersih, selanjutnya “just transition” mulai masuk dalam konteks global dan kebijakan perubahan iklim yang mulai dibahas dalam Conference of the Parties (COP) yakni konferensi perubahan iklim di Paris pada tahun 2015 yang lebih dikenal dengan Paris Agreement. Keseriusan para pemimpin dunia dalam melanjutkan proyek ambisius Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 sangat nyata terlihat pada presidensi G-20 yang berlangsung di Bali beberapa waktu lalu dengan dibentuknya kemitraan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang bertujuan dalam akselerasi pencapaian JET di Indonesia.
Royanto Purba sangat berharap para pekerja/buruh dan segenap elemen masyarakat benar-benar memahami tentang JET dalam mencapai NZE. Kenaikan temperatur yang disebabkan meningkatnya kadar Karbondioksida (CO2) telah menjadi penyebab utama meningkatnya temperatur sehingga meningkatkan pemanasan global.Meski ada beberapa penyebab meningkatnya Gas Rumah Kaca (GRK) yang diakibatkan meningkatnya kadar CO2 namun dari data yang dikeluarkan IPCC, Sektor Energi dan Industri menjadi penyebab utamanya. Sumber energi fossil dalam hal ini batubara merupakan penyumbang gas-gas yang meningkatkan kadar Karbon di udara seperti CO2, CH4 (metana) dan N2O atau Nitrogenoksida. Fakta inilah yang perlu diketahui agar penghentian komsumsi energi berbasis fosil dapat secara bertahap dihentikan ( coal phase out).
Pembakaran batubara yang menghasilkan 66% lebih banyak CO2 per unit energi yang dihasilkan menjadikan batubara sebagai sumber energi paling kotor yang membuat peningkatan CO2 dan memacu panas secara global. Selaras dengan kondisi tersebut salah satu hasil dari Paris Agreement adalah mengurangi tingkat emisi gas rumah kaca dan aktivitas sejenis guna meminimalkan emisi gas dalam mencapai net zero. Artinya dunia harus lepas dari penggunaan batubara sebagai sumber energi (coal phase out).
PLN sendiri telah membuat roadmap dalam rangka menghentikan Coal Fired Power Plant (CFPP) secara bertahap dengan menghentikan penggunaan batubara di beberapa PLTU dari 1GW hingga tahun 2030, 10 GW hingga tahun 2045 dan menuju NZE pada 2060. Hal ini dilakukan dalam mendukung pencapaian NZE 2060 di Indonesia. Hal ini selaras dengan Peraturan Presiden No 112 Tahun 2022 tentang percepatan pengembangan energi terbarukan untuk penyediaan teaga listirk.
“Artinya untuk meraih bauran energi 34 persen pada tahun 2030 dari yang awal 25%. Dengan kata lain aka nada PLTU yang dipensiunkan dan disisi lain akan dibangun Energi Baru Terbarukan agar kebutuhan energi tidak terganggu.” jelas Royanto.
Kondisi tersebut tentu akan berdampak pada pekerja/buruh. Sektor yang akan terimbas pertama sekali adalah sektor penambangan batubara, transportasi batubara, baik transportasi darat maupun laut, alat-alat berat pertambangan, yang kemudian juga berdampak pada sektor pembangkit listrik, perhotelan di sekitar pertambangan, rumah-rumah makan, dan berbagai sektor informal lainya. Selain itu penerimaan pajak dan penghasilan daerah juga akan menurun. Semua kondisi ini pasti akan terjadi dengan ambisi dari pencapaian NZE.
Royanto Purba yang juga Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Kerah Biru itu memaparkan bahwa dampak dari JET tentu bermuara pada pekerja formal dan informal. Tentu dibutuhkan mitigasi dini yang adaptif agar hak-hak pekerja/buruh tetap terlindungi. Peranan dialog sosial tentu akan menjadi kunci dalam mencari koherensi kerangka kebijakan yang adil bagi semua dan tidak seorangpun yang tertinggal. Pemerintah, pengusaha, pekerja/buruh, elemen masyarakat lainnya, para Lembaga/organisasi ingkungan,dan akademisi harus melakukan dialog sosial. Melalui dialog sosial baik lokal dan nasional tentu akan didapatkan berbagai informasi yang dapat dijadikan masukan dalam rangka memberi rekomendasi untuk membuat kerangka kebijakan JET itu sendiri.
Royanto menyayangkan hingga saat ini road map ketenagakerjaan untuk JET belum ada, dan seharusnya pekerja/buruh sebagai kelompok pertama yang paling terdampak harus dilibatkan, sehingga kepastian kerja yang layak, K3, pekerjaan yang inklusif dan kesetaraan gender benar-benar terakomodir dalam kebijakan-kebijakan yang akan dihadirkan kedepan.
“Melalui acara ini, saya menyampaikan agar Lembaga Tripartit Just Transition Energy dapat dibentuk agar pemerintah, pengusaha dan pekerja/buruh dapat duduk bersama dalam membahas hal-hal yang berhubungan dengan JET sehingga keadilan bagi semuanya dapat tercapai.” ungkap Royanto.
Acara tersebut dihadiri dari unsur pemerintah daerah, organisasi kemasyarakata seperti GIZ, Wuppertal Institut,POKJA-30, Aliansi Masyarakat Adat, WALHI, APINDO, dan Unsur Perkerja/Buruh seperti KSPI, KSBSI, dan KSPSI.