Jakarta_Kspsinews,- Wakil Sekretaris Jenderal DPP KSPSI Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Tri Ruswati berpendapat bahwa partisipasi perempuan dalam keinginan berpolitik sangat perlu untuk dibangun, jalur politik merupakan salah satu upaya perjuangan kaum perempuan untuk mengupayakan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada pekerja atau buruh perempuan. Demikian disampaikan Tri Ruswati kepada Kspsinews, di Jakarta (Jumat, 30/12/2022).
Lebih lanjut Tri Ruswati, aktivis pekerja/buruh yang sudah malang melintang itu mennjelaskan bahwa sekalipun jaman sudah semakin modern namun perempuan tetap saja mengalami berbagai masalah, khususnya di dunia kerja. Apa sajakah itu ? Sejak jaman R.A. Kartini hingga R.A.Dewi Sartika sudah berupaya untuk memperjuangkan hak-hak perempuan seperti dapat bersekolah, memperoleh keterampilan untuk menunjang kompetensi SDM dan pendapatan ekonomi rumah tangga, hingga kini sudah lebih dari seabad telah berlalu. Mudah rasanya untuk merasa bangga dan puas terhadap kemajuan yang dinikmati ditengah-tengah perjalanan waktu tersebut. Memang banyak hak yang telah diklaim kaum perempuan namun tak sedikit juga kondisi yang masih jauh dari ideal. Seperti di dunia kerja area yang hanya bisa diimpikan oleh R.A. Kartini dan R.A. Dewi Sartika dulu, pekerja perempuan masih juga mengalami ‘permasalahan spesifik berbasis gender’, tentu saja hal ini bukan berarti pekerja laki-laki sama sekali tidak menghadapi masalah pelik di tempat kerja, namun seringkali isu yang dihadapi pekerja perempuan dianggap sebagai sesuatu yang lazim dan harus diterima, “kalau tidak suka silahkan jadi ibu rumah tangga saja”. Keputusan perempuan untuk mengambil peran diberbagai ruang publik, baik sebagai pekerja formal maupun informal seharusnya mendapatkan dukungan dan dilindungi negara. Sayangnya keputusan perempuan ini yang pada akhirnya menjadikan mereka memiliki ‘peran ganda atau beban ganda’ yaitu di ruang domestik maupun publik, dan tetap dianggap oleh sebagian sebagian besar orang merupakan hal yang biasa saja, wajar, tanpa perlu diperjuangkan hak-hak dan perlindungan sebagai perempuan dengan kacamata ‘kesetaraan berbasis gender’. Untuk mendapatkan pekerjaan di ranah publik pun perempuan masih mesti berjuang keras bersaing dengan laki-laki yang mayoritas menguasai pekerjaan diranah publik (produksi industri, pertanian, perikanan).
Menurut Tri Ruswati, ada beberapa permasalah apa saja yang dihadapi dilingkungan profesional angkatan kerja, antara lain :
1.Peluang Kerja
Jumlah angkatan kerja di Indonesia Agustus 2022 sebanyak 68,63% dan mengalami kenaikan 0,83% poin dari periode tahun sebelumnya yakni 67,80%. Capaian Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) terus meningkat dalam tiga tahun terakhir ketimbang sebelum pandemik Covid-19,TPAK RI pada Agustus 2019 hanya 67,53%. Kondisi perekonomian yang semakin menguat diikuti peningkatan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja, baik pada penduduk laki-laki maupun perempuan. Berdasarkan gender TPAK laki-laki lebih tinggi ketimbang perempuan pada Agustus 2022, TPAK laki-laki sebesar 83,87% sedangkan TPAK perempuan 53,41%. TPAK merupakan persentase banyaknya angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja. TPAK mengindikasikan besarnya persentase penduduk usia kerja yang aktif secara ekonomi di suatu negara/ wilayah. Seiring naiknya TPAK jumlah pengangguran nasional mengalami penurunan. Biro Pusat Statistik mencatat jumlah pengangguran di Indonesia per Agustus 2022 mencapai 5,86% atau turun 0,63%. (Sumber: data BPS Agustus 2022). Data TPAK BPS Agustus 2022 tsb di lihat dari jenis kelamin angka partisipasi pekerja masih ada kesenjangan yang tinggi, angkatan kerja formal masih didominasi kaum laki-laki. Hal ini memperlihatkan bahwa mayoritas angkatan kerja di isi oleh kaum laki-laki, dan kaum perempuan masih harus berjuang keras berkompetisi untuk masuk di dunia kerja ranah publik. Bahkan diskriminasi sudah nampak dimulai pada saat rekruitmen, perempuan calon pekerja kadang dihadapkan dengan pertanyaan mengenai status single atau sudah berumah tangga, punya berencana menikah dalam waktu dekat tidak, memiliki anak dalam waktu dekat, ini disampaikan dalam menyaring calon pekerja perempuan, karena pihak perusahaan khawatir adanya adanya konflik produktivitas saat terjadi kehamilan, kewajiban membayar upah cuti hamil, dan pemberian hak maternity. Pertanyaan lain yang secara khusus mengecilkan niat perempuan calon pekerja mencakup kebersediaan ditempatkan di luar kota terpencil, dan bersedia bekerja lembur, kerja malam, dlsbnya.
2.Kesenjangan Gaji/ Upah
Kesenjangan pada hak-hak pekerja perempuan tidak berhenti pada jumlah angkatan kerja (TPAK) saja, tetapi pada permasalahan lainnya hadir juga seperti tingkat pengupahan yang tidak adil bagi pekerja perempuan, ini hampir di semua bidang kerja, upah pekerja laki-laki lebih tinggi dibandingkan upah pekerja perempuan. Dari data kerja BPS sendiri ada ketimpangan gaji atau upah antara pekerja perempuan dan pekerja laki-laki di Indonesia sebesar 22,41% laporan BPS Februari 2022, rata-rata upah pekerja laki-laki sebesar 3,14 juta rupiah dan rata-rata upah pekerja perempuan 2,43 juta rupiah. Pengupahan yang berbeda ini menunjukan bahwa ketika perempuan masuk di dunia kerja masih di pandang hanya berstatus ‘membantu ekonomi keluarga’ untuk menambah penghasilan guna memenuhi kebutuhan rumah tangga, bukan karena memandang perempuan sebagai pribadi yang mandiri dan dapat bekerja di dunia publik. Belum lagi dalam hal pemotongan pajak penghasilan (PPh 21) untuk pekerja, khusus pada pekerja perempuan yang menanggung keseluruhan biaya ekonomi rumah tangga atau sebagai pencari nafkah utama status mereka masih dianggapnya lajang atau pencari ekonomi tambahan, ini sangat mempengaruhi besarnya pajak PPh 21 yang harus dibayarkan oleh pekerja perempuan lebih besar yang otomatis mempengaruhi penghasilan yang diperoleh setelah dipotong pajak. Berbagai faktor lainnya yang mempengaruhi fenomena ini keengganan untuk melakukan negoisasi gaji/ upah hingga bias pekerja perempuan yang sudah menyandang status kepala rumah tangga (single parents) atau istri yang memiliki suami dengan penghasilan lebih rendah dari istrinya, suami menganggur/ ter PHK. Selain itu atasan diperusahaan cenderung berasumsi kalau pekerja perempuan tidak akan mampu melakukan tugasnya dengan baik begitu mereka telah mempunyai keluarga dan anak. Hal tersebut direfleksikan dari peluang pekerja perempuan untuk dipromosikan dalam karier dan jabatannya yang lebih kecil kesempatannya dibandingkan pada kolega pekerja laki-laki, sehingga kesempatan karier dan jabatan yang tinggi dengan upah yang besar bagi pekerja perempuan terabaikan, termasuk perlindungan sosial banyak pekerja perempuan belum mendapatkan secara maksimal misalnya BPJS Ketenagakerjaan.
3.Hak maternity dan paternity
Pemberian hak cuti melahirkan, cuti keguguran, cuti menstruasi, cuti suami untuk mendampingi istri yang melahirkan atau keguguran itu pun masih banyak yang dilaporkan tidak sesuai aturan perundangan undangan, bahkan banyak perusahaan yang melanggar aturan cuti melahirkan dengan baru memberikan hak cuti melahirkan bagi pekerja perempuan saat mendekati kelahiran, 1 (satu) bulan sebelum melahirkan, tidak memberikan biaya bersalinan, dikeluarkan dari kerja (PHK sepihak) bagi pekerja perempuan yang diketahui hamil tanpa pesangon, ini banyak dialami pekerja perempuan dengan status kerja outsourcing/ kontrak, dikarenakan peraturan perundangan yang masih salah menimbulkan multi tafsir seperti UU 13/2003 yang berisikan 193 pasal salah satunya mengatur klausul pekerja perempuan pasal 75 yang berisikan 5 (lima) point yang implementasi di lapangan masih jauh dari peraturan yang ada, sebagai contoh pasal 76 tertulis ‘pengusaha di larang mempekerjakan pekerja perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungan maupun dirinya, apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai 07.00’ pemahaman pasal ini tentu multi tafsir dan banyak digunakan oleh perusahaan untuk melegalkan tindakan sesuai kepentingan perusahaan yang banyak dirasakan dan merugikan pekerja perempuan.
4.Pelecehan dan kekerasan seksual di tempat kerja
Pelecehan dan kekerasan seksual di tempat kerja muncul dalam berbagai bentuk dan bisa terjadi juga pada pekerja laki-laki, tetapi studi kasus menemukan bahwa pekerja perempuan lebih rentan terkena pelecehan dan kekerasan seksual di tempat kerja, karena secara umum laki-laki lebih banyak menempati posisi karier dan jabatan superior di tempat kerjanya dan struktur sosial menyebabkan perempuan lebih mudah terintimidasi. Lebih parahnya lagi kasus pelecehan dan tindak kekerasan seksual di tempat kerja dilakukan oleh atasannya atau teman sekerjanya, sayangnya pekerja perempuan yang mengalami tindakan tersebut masih banyak enggan melaporkan karena korban malu, takut intimidasi, takut kehilangan pekerjaan atau alasan lainnya.
5.Keseimbangan karier dan keluarga
Peran ganda atau beban ganda pada pekerja perempuan dalam hal menyeimbangkan antara kerja dan keluarga terkadang masih menjadi beban pikiran pekerja perempuan yang sudah berkeluarga. Tuntutan dari kedua sisi acap kali menimbulkan keresahan sehingga memaksa mereka memilih salah satunya dan seringnya impian berkarier merekalah yang menjadi korbannya. Sedikit pekerja perempuan yang dapat membangun karier sesungguhnya karena banyak pekerja perempuan yang memutuskan untuk berhenti bekerja pada masa produktif mereka, yaitu sebelum memasuki usia 30 (tiga puluh) tahun dengan alasan ruang domestik, mengurus anak & suami, melahirkan dlsbnya.
6.Persepsi negatif terhadap sikap ambisius
Sebutan ‘boss’ terlalu agresif dan emosional paling banyak ditujukan pada pekerja perempuan begitu hasil pertemuan survey Fortune terhadap lebih dari 200 ulasan performa di tempat kerja. Konotasi negatif ini kadang kala bukan refleksi dari kepribadian si pekerja perempuan. Pekerja perempuan yang tegas, terbuka, blak-blakan, berpendidikan tinggi banyak menerima sebutan tersebut karena perilaku mereka yang dianggap aktif mengejar kemajuan karier, dianggap tidak sesuai ‘kepribadian perempuan tradisional’ yang penurut, lugu, lemah lembut.
7.Lemahnya partisipasi pekerja perempuan pada politik di organisasi Serikat Pekerja
Berdasarkan survey dan diskusi dengan anggota pekerja perempuan Komite Pemberdayaan Perempuan KSPSI (th 2019-2021) pekerja perempuan enggan terlibat aktif berpolitik di organisasi Serikat Pekerja dikarenakan dihadapkan dengan kondisi tekanan-tekanan dari oknum manajemen perusahaan di saat sesi interview rekruitmen tenaga kerja. Kebanyakan mereka di saat interview diberikan oltimatum jika di terima sebagai karyawan tidak diperkenankan untuk terlibat aktif di Serikat Pekerja. Selain itu banyak peluang dan kesempatan telah juga diberikan kepada anggota pekerja perempuan oleh pimpinan Serikat Pekerja sebagai pengkaderan tetapi tidak mendapatkan respon dari anggota pekerja perempuan dengan berbagai alasan, misal mental percaya diri dari individu perempuan itu sendiri kurang, dan mereka lebih banyak berpasrah sepenuhnya atas nasib hak dan perlindungannya sebagai pekerja perempuan kepada Pengurus Serikat Pekerja yang ada, dan pengurus Serikat Pekerja yang ada mayoritas laki-laki. Terkadang juga setelah Serikat Pekerja berhasil mengkader pekerja perempuan yang potensial, dikarenakan alasan urusan domestik, peran ganda, menikah, melahirkan, mempunyai anak balita, dilarang suami aktif berorganisasi, keterbatasan waktu, sehingga pada akhirnya mempengaruhi peran aktif anggota pekerja perempuan untuk tidak lama aktif di kegiatan-kegiatan organisasi Serikat Pekerja.
“Harapan saya sebagai pengurus serikat pekerja , KSPSI mampu membuat langkah-langkah kebijakan organisasi untuk meningkatkan peran serta perempuan di organisasi serikat pekerja” tandas Tri Ruswati.
Tri Ruswati juga menambahkan bahwa didalam mewujudkan negara yang berdasarkan demokrasi harus mampu memberikan yang terbaik bagi warga negaranya, dengan menjamin perlindungannya, pemenuhan kewajiban dan hak secara seimbang. Untuk dapat terwujud harus ada partisipasi yang aktif dan efektif dari semua warganya, termasuk pekerja perempuan yang juga bagian dari warga negara. Pekerja perempuan berhak berpartisipasi secara politik, sosial, ekonomi, budaya dan lainnya. Pada konteks partisipasi politik pekerja perempuan berhak berserikat, menyalurkan hak pilihnya, bersuara untuk mengutarakan pendapat dan kepentingan sebagai pekerja perempuan yang bekerja di banyak bidang pekerjaan, terutama sebagai pekerja di industri. Serikat Pekerja di Indonesia tidak lepas dari keterlibatan pekerja perempuan didalamnya. Serikat Pekerja di Indonesia semakin kuat pasca era reformasi untuk itu kekuatan-kekuatan Serikat Pekerja harus terus di bangun dengan mempersatukan anggotanya tanpa dibatasi oleh ‘stereotip berbasis gender’ di semua kesempatan, hak dan kewajiban secara seimbang. Untuk itu organisasi Serikat Pekerja perlu merumuskan langkah-langkah strateginya guna memberdayakan anggotanya khususnya pekerja perempuan di perusahaan yang ada organisasi Serikat Pekerja nya. Mereka tidak hanya sebatas sebagai anggota pasif tetapi harus turut serta menjadi anggota aktif dan terlibat di organisasi Serikat Pekerja yang ada, dengan harapan kedepannya muncul kader-kader calon pemimpin yang MUDA, CERDAS, MILITAN di kalangan pekerja perempuan di Indonesia.
Adapun langkah-langkah pengkaderan pekerja perempuan di organisasi SP menurut Tri Ruswati antara lain :
1.Peran Serikat Pekerja dalam mempromosikan ‘kesetaraan berbasis gender’
Serikat Pekerja diharapkan turut serta menjadi bagian yang mengangkat dan mengkampanyekan isu-isu ‘kesetaraan berbasis gender’ di tempat kerja, di mana ikut mempromosikan kesetaraan berbasis gender dengan berbagai alasan, seperti mengapa perempuan lebih rentan dibandingkan pekerja laki-laki. Untuk mencapai itu semua tentunya terlebih dahulu organisasi Serikat Pekerja harus membuatkan legalitas payung hukumnya melalui pasal yang dicantumkan di dalam Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga dan Program Kerja organisasi Serikat Pekerja, agar nantinya di semua struktur dan jajaran organisasi Serikat Pekerja dalam memenuhi kesetaraan berbasis gender wajib menempatkan pengurus perempuan secara proposional, dengan memberikan pemahaman mengapa sangat diperlukan dan penting keterlibatan dan peran anggota pekerja perempuan di ranah politik melalui gerakan aktif di organisasi Serikat Pekerja, karena gerakan perempuan aktif dalam menuntut negara atas isu representasi politik melalui kampanye-kampanye yang dilakukan oleh perempuan ada di sekitar isu pendidikan, upah kerja, kesetaraan upah, martabat personal, otonomi seksual, juga termasuk didalamnya inklusi perempuan atas pembuatan kebijakan. Dan berikan juga alasannya mengapa Serikat Pekerja di masa lampau tidak bersedia atau tidak dapat membantu pekerja perempuan.
2.Rekruitmen anggota Serikat Pekerja perempuan
Bahwa untuk memecahkan permasalahan-permasalahan ketertindasan kaum perempuan khususnya pekerja perempuan perlu wadah bernaung, berlindung, dan bergabung yaitu melalui organisasi Serikat Pekerja. Melalui organisasi Serikat Pekerja beban permasalahan pekerja perempuan di tempat kerja diharapkan dapat diatasi bersama-sama dan lebih terorganisir. Dengan masuknya pekerja perempuan menjadi anggota Serikat Pekerja gerakan pekerja perempuan aktif dalam menyuarakan atau menuntut hak dan kewajibannya secara seimbang kepada pihak perusahaan bisa terakomodir, di dengar, bisa ikut terlibat dalam tim negoisasi/ perundingan PKB, peraturan perusahaan, termasuk turut mempengaruhi kebijakan-kebijakan negara yang berkaitan dengan kebutuhan hak dan perlindungan kaum perempuan pada umumnya.
3.Pendidikan dan pelatihan bagi anggota pekerja perempuan
Setelah pimpinan Serikat Pekerja berhasil meyakinkan pekerja perempuan untuk direkrut untuk bergabung menjadi anggota Serikat Pekerja maka langkah selanjutnya adalah segera diberikan bekal dan motivasi guna untuk meningkatkan kemampuan kompetensi SDM anggotanya, melalui pendidikan dan pelatihan secara berjenjang dan kontinyu. Hal ini penting untuk menumbuhkan kepercayaan diri individu, kecintaan pada organisasi Serikat Pekerja, solidaritas sesama anggota Serikat Pekerja pada gerakan organisasi Serikat Pekerja. Mereka harus dibekali pemahaman tentang Apa itu Organisasi Serikat Pekerja serta visi dan misi nya, AD/ART dan Program Kerja organisasi Serikat Pekerja, hak dan kewajiban anggota Serikat Pekerja, Iuran Anggota, pemahaman kesetaraan berbasis gender, apa itu pelecehan & kekerasan seksual di tempat kerja dan payung hukumnya, UU Ketenagakerjaan, Advokasi, partisipasi perempuan pada ranah politik di organisasi Serikat Pekerja, membangun jejaring pekerja perempuan, dan lain sebagainya.
4.Melibatkan anggota pekerja perempuan yang aktif dan potensial di organisasi Serikat Pekerja
Setelah melalui tahapan pendidikan dan pelatihan untuk pembekalan tingkat dasar dan lanjutan, para anggota pekerja perempuan faham penting berorganisasi di Serikat Pekerja, dan diharapkan juga ditemukan kader-kader pemimpin muda, cerdas, militan untuk dapat terlibat aktif di dalam gerakan organisasi Serikat Pekerja, sehingga diharapkan dengan adanya keterwakilan pekerja perempuan di kepengurusan Serikat Pekerja dapat menyuarakan nasib keberadaan mereka itu sendiri, misal dilibatkan dalam tim advokasi, juru runding PKB, tim diklat, dll. Sebagai wadah aktivitas sosialisasi anggota pekerja perempuan secara internal maupun eksternal perlu di bentuk Komite Pemberdayaan Perempuan yang merupakan Komite di bawah koordinasi pembidangan yang ada dalam struktur organisasi Serikat Pekerja.
5.Mendorong anggota pekerja perempuan untuk membangun komunikasi yang efektif dengan komunitas perempuan (membangun jejaring) di dalam negeri maupun di luar negeri yang mengangkat isu sosial yang sama.
Adanya Komite Pemberdayaan Perempuan di tingkat perusahaan maupun struktur dan jajaran organisasi di Serikat Pekerja dapat menciptakan jejaring gerakan sosial perempuan baik di internal maupun eksternal dalam mensikapi dan mengkritisi terhadap isu kebijakan-kebijakan yang masih banyak merugikan hak dan perlindungan kaum perempuan saat ini. Hal ini merupakan harapan semua kaum perempuan di Indonesia untuk mendapatkan akses berpartisipasi setara dalam pembangunan, yang merupakan implementasi dari amanah Undang-undang Dasar 1945 pasca amendemen dan menjadikan penguatan HAM melalui pembentukan Pasal 28A hinggal Pasal 28J yang mengatur sedemikian rupa hak sipil, politik, sosial, ekonomi, termasuk hak atas pembangunan setiap individu di Indonesia tanpa membedakan suku, agama, keyakinan politik, jenis kelamin, dan gender. Apalagi pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan melalui Undang-undang Nomor 7 tahun1984.
“Semoga melalui wadah Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) yang sebentar lagi menuju usia emasnya yang ke-50, slogan bina-lindung-sejahtera benar-benar diaplikasikan dalam putaran roda organisasi. Semoga bermanfaat” tutup Tri Ruswati