Pemerintah Presiden Prabowo menargetkan pertumbuhan ekonomi hingga mencapai level 8% untuk mendorong Indonesia menjadi negara maju di tahun 2045. Salah satu aspek penting untuk mempercepat pertumbuhan adalah kebijakan ketenagakerjaan yang kondusif bagi penciptaan lapangan kerja dan iklim investasi. Sayangnya, aspek ketenagakerjaan tersebut saat ini menjadi tantangan berat bagi terciptanya kondisi pembangunan ekonomi yang diharapkan.
Setidaknya ada tiga tantangan utama yang mengemuka dibidang ketenagakerjaan. Pertama, daya serap ekonomi terhadap tenaga kerja semakin melemah. Dalam satu dekade terakhir, penciptaan lapangan kerja tidak lagi optimal. Data BKPM menunjukkan, Rp. 1 Trilyun investasi ada 2015 menciptakan 2.700 pekerjaan. Sedangkan pada 2023 hanya 1.200. Hal ini menandakan pergeseran ke sektor padat modal. Saat ini investasi cenderung menuju ke sektor padat modal, bukan padat karya.
Kedua, Kualitas pekerjaan yang rendah. Hanya 40% angkatan kerja berada di sektor formal (BPS 2025) dan menurut standar ILO, lebih dari 80% pekerja tergolong informal. Bahkan disektor formal, estimasi awal CSIS (2025) menunjukkan 65% pekerja bergaji dibawah UMP dan hanya 21% menerima jaminan sosial. Dari pekerja yang berhak pesangon kurang dari sepertiga benar – benar mendapatkannya.
Ketiga, Produktivitas tenaga kerja tertinggal dari negara pesaing di Asia Tenggara akibat kurangnya sarana pendukung serta rendahnya kompetensi dan keterampilan. Produktivitas yang rendah ini menghambat peningkatan kesejahteraan pekerja karena kemampuan perusahaan dalam memberikan upah dan kompensasi yang layak terhadap pekerja tergantung pada tingkat Produktivitas pekerja juga. Sementara itu, kebijakan dan regulasi ketenagakerjaan Indonesia telah menambah tantangan tersendiri bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi, penyediaan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan mereka. Walaupun regulasi ketenagakerjaan Indonesia yang ketat, dengan pesangon dan Upah minimum yang tinggi dibanding negara di kawasan, ia belum efektif dalam meningkatkan kesejahteraan pekerja dan justru diduga menghambat pertumbuhan sektor padat karya. Sejak Undang-undang No. 13/2003 berlaku, penyerapan tenaga kerja manufaktur yang menurun, terutama disektor padat karya. Hal ini menunjukkan regulasi kurang kondusif bagi pertumbuhan usaha swasta ( Narjoko dan Putra, 2015; Merdikawati dan Dong, 2021)
Selanjutnya, Putusan MK yang membatalkan pasal – pasal ketenagakerjaan UU Cipta Kerja, tanpa adanya aturan baru telah memicu ketidak pastian, yang pada akhirnya dapat menghambat investasi dan penciptaan lapangan kerja. Akibat belum adanya aturan ketenagakerjaan yang jelas, ketentuan penting seperti upah minimum, pesangon dan kontrak kerja menjadi tidak jelas, sementara UU No. 13/2003 yang telah kembali berlaku dinilai telah usang dan tidak menguntungkan bagi pengusahaan maupun pekerja.
KSPSI Mendorong Komitmen Pemerintah Dalam Pengentasan Angka Pengangguran
Centre For Strategic And International Studies (CSIS) saat ini tengah melakukan penelitian mengenai situasi ketenagakerjaan di Indonesia. Selain mengurai berbagai permasalahan didalamnya, mereka juga melihat sejauh mana dampaknya terhadap kondisi sosial ekonomi serta daya saing Indonesia dengan negara lain. Untuk memperkaya isi dari penelitiannya, CSIS mengundang berbagai pihak yang dinilai mempunyai pandangan dan pengaruh dalam regulasi ketenagakerjaan Indonesia. Dan sampai tulisan ini dibuat, pihak yang telah diundang untuk berdiskusi adalah pihak Pemerintah dan Pengusaha Indonesia.
Setelah mendapatkan masukan dan pendapat dari seluruh pihak, diharapkan laporan CSIS ini akan menjadi “Policy Paper” yang rencananya selesai dibuat dalam 2 bulan kedepan. Dan laporan ini pastinya akan ajukan kepada Pemerintah Indonesia atau kepada pemangku kebijakan pada umumnya untuk dijadikan dasar menentukan kebijakan selanjutnya, sekaligus juga dapat menjadi bahan diskusi publik bagi khalayak umum.
Pada tanggal 19 Agustus 2025 beberapa Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh Indonesia telah diundang oleh CSIS untuk berdiskusi. Diskusi dilaksanakan di Ruang 542, Gedung Pakarti Centre dihadiri oleh KSPSI Yorris Raweyai (YRS), ASPEK, INSPIRASI, KSPSI Jumhur, Sarbumuni, KSPNasional, KASBI dan KSBSI. KSPSI YORRYS RAWEYAI yang hadir diwakili oleh Sekretaris Jendral, Bibit Gunawan dan Wakil Ketua Umum, Hendi Purnomo.
Kegiatan yang bertema tentang “ Memetakan sumber permasalahan Penciptaan Lapangan Kerja Berkualitas di Indonesia” dibuka oleh Direktur CSIS, Yose Rizal Damuri. Yose menerangkan bahwa tujuan diskusi adalah untuk melihat lebih dalam pandangan serikat pekerja terhadap peluang, yang pernah, sedang dan akan dihadapi kedepan. Dengan fokus diskusi adalah mencari keseimbangan baru mengenai kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia kedepannya.
Dalam pandangannya terhadap kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia, CSIS menganggap bahwa Pemerintah Indonesia tidak mempunyai perhatian yang cukup terhadap industri padat karya. Terbukti didalam pidato Presiden RI tanggal 15 Agustus 2025, Industry padat karya tidak disebut. Padahal industri ini sangat berpengaruh terhadap kondisi ketenagakerjaan di Indonesia. Dimana industri padat karya adalah industri yang sangat penting dalam menyerap tenaga kerja, yang secara signifikan mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia.
Penelitian CSIS yang sudah berlangsung selama 3 bulan salah satunya dipicu oleh keputusan Mahkamah Konstitusi tahun awal 2025 yang membatalkan beberapa ketentuan utama terkait ketenagakerjaan di Undang – Undang Cipta Kerja. Keputusan ini membuat ketidakpastian bagi dunia usaha dan pekerja mengenai acuan didalam undang- undang ketenagakerjaan di Indonesia. CSIS menganggap bahwa hal ini merupakan salah satu momentum juga untuk membuat kebijakan ketenagakerjaan yang lebih mewakili kepentingan dari berbagai pihak. Disatu sisi bahwa kebijakan ketenagakerjaan yang baru akan mampu memberikan perlindungan kepada pekerja. Disisi lain juga diharapkan dapat mendukung menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih baik kedepannya.
Diskusi inti selanjutnya dimoderatori oleh Deny Friawan dan Dr. Riandy dari Departemen Ekonomi CSIS. Moderator menyampaikan bahwa disamping terjadinya kevakuman undang-undang ketenagakerjaan di Indonesia, Pemerintah RI melalui Presiden Prabowo Subianto telah menargetkan pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi yaitu 8%. Untuk mencapai target ini, Indonesia sangat membutuhkan dukungan Peraturan perundang-undangan yang kondusif. Bukan hanya untuk menciptakan lapangan kerja saja, tapi juga menciptakan iklim investasi yang baik. Jika hari ini terdengar banyaknya berita terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), hal tersebut ditengarai sebagai dampak dari penciptaan lapangan kerja yang tidak baik dan tidak berkualitas sejak terjadinya krisis keuangan Asia pada tahun 1997 -1998. Hal ini juga yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi tidak baik sampai hari ini.
CSIS berusaha mencari informasi, adakah peranan dari regulasi ketenagakerjaan terhadap perumbuhan ekonomi yang tidak meningkat dan penciptaan lapangan kerja yang tidak baik selama ini. Seperti diketahui sejak Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diterbitkan hingga Undang-Undang Cipta kerja, kedua undang-undang tersebut tidak disukai, baik oleh Pihak Pengusaha maupun dari pihak. Jika kedua undang-undang ini tidak sama – sama disukai, maka sebenarnya, undang-undang seperti apa yang bisa membuat kedua belah pihak bisa menerima dan menyukainya ?.
Data CSIS sebelum Penelitian menyebutkan bahwa, fenomena pertumbuhan yang tanpa disertai penciptaan lapangan pekerjaan yang berkualitas telah terjadi sejak tahun 1997. Produktifitas industri manufaktur Indonesia tertinggal dan berada dibawah negara-negara tetangga di Asia Tenggara seperti Malaysia, Filipina, Thailand dan Vietnam. Kemudian terjadi pengurangan penciptaan lapangan pekerjaan pada setiap investasi.
Meski menurut data BPS, angka pengangguran disebut menurun, yaitu 7 %, sesungguhnya angka tersebut tidak sesuai kenyataan. Yang sebenarnya terjadi adalah Pekerja yang mengalami Pemutusasn Hubungan Kerja (PHK) telah berubah statusnya yang awalnya sebagai pekerja formal menjadi Pekerja sektor Informal, dimana kondisi kerja pekerja sektor informal dipastikan minim perlindungan Jaminan sosial dan rendah produktifitas. BPS juga mencatat 60% Pekerja Indonesia bekerja di Sektor Informal yang ternyata data ini bertentangan dengan data ILO yang mempunyai data sebesar 80%.
CSIS menyebutkan bahwa tingginya tingkat pengangguran di Indonesia diperparah lagi dengan masuknya investasi industri padat modal dari luar negeri. Sementara investasi industri padat karya itu menurun. Hal ini yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah peraturan ketenagakerjaan mempunyai peranan dalam mengurangi jumlah penciptaan lapangan pekerjaan.
Permasalahan di Indonesia disebutkan karena peraturan Ketenagakerjaan tidak fleksibel /rigid. Semakin tidak fleksibel/rigid, menandakan jumlah Investasi Lansung Asing / Foreign Direct Investment (FDI) ke Indonesia menjadi rendah. Dan parahnya lagi, dilain sisi, regulasi Ketenagakerjaan Indonesia ini dinilai tidak menciptakan peningkatan kesejahteraan bagi pekerja.
Sekretaris Jendral KSPSI Yorrys Raweyai, Bibit Gunawan menyampaikan bahwa Presiden RI dalam pidatonya mengatakan telah berhasil menurunkan angka pengangguran. Hal tersebut pada kenyataannya, terjadinya kenaikan angka pengangguran bertambah sekitar 7,28 juta orang. Ini menandakan bahwa angka pertumbuhan angkatan kerja tidak berbanding lurus dengan jumlah kesempatan kerja yang tersedia.
Kondisi ini disebabkan karena Trend yang terjadi di seluruh dunia dimana lapangan kerja di seluruh dunia adalah padat modal. Bahkan didaerah regional Asia Tenggara, Vietnam sudah mengarah kepada industri padat modal. Hal ini mengindikasikan bahwa sudah jauh dari angan – angan bahwa Pemerintah akan memperkuat industri padat karya.
KSPSI berharap kepada CSIS agar dapat memberikan catatan penting bagi Pemerintah bahwa yang mempunyai semangat memperkuat Industri padat karya di Indonesia hanya Kementerian Ketenagakerjaan saja. Bibit menilai bahwa Kementerian yang lain cenderung mempunyai semangat penciptaan industri Padat modal. Jika Pemerintah Indonesia ingin agar pengentasan pengangguran dan kemiskinan, maka seluruh program Kementerian haruslah sama. BKPM harus ditata lebih baik dengan misalkan hanya menerima investasi padat karya saja.
KSPSI sangat berharap Pemerintah bisa menentukan arah keberpihakan. Bahwa kampanye bonus Demografi yang sebentar lagi akan dirasakan harus segera dicarikan jalan untuk mereka bisa mendapatkan lapangan pekerjaan. Jika Pemerintah tidak segera mempersiapkannya, dipastikan ditahun 2030 akan ada masalah pengangguran yang besar bagi Indonesia.
Disisi lain, KSPSI agak pesimis Indonesia dapat menemukan keseimbangan baru dalam kebijakan Ketenagakerjaan. Hal ini disebabkan bahwa sampai saat ini, kenyataan bahwa tingginya angka pengangguran dan minimnya jenis pekerjaan yang berkualitas tidak bisa diatasi. KSPSI YRS meminta agar kebijakan seluruh Kementerian dan lembaga harus sama bahwa pengentasan pengangguran adalah prioritas. Jika hal ini dilakukan, paling lambat dalam waktu 5 tahun, Indonesia sudah bisa mengentaskan angka pengangguran
Selanjutnya KSPSI juga ingin mengetahui terkait pengaruh gangguan terhadap FDI. Dalam banyak kesempatan, Pemerintah menginginkan adanya suasana yang aman, tidak ada gangguan dan kondusif. KSPSI YRS sangat berpikiran positif bahwa Serikat Pekerja bukanlah menjadi gangguan atas investasi asing yang masuk ke Indonesia. Jika pun ada perselisihan ketenagakerjaan, hal tersebut adalah bentuk serikat pekerja dalam berjuang untuk mendapatkan haknya. Namun jika Pemerintah menilai Serikat Pekerja sebagai gangguan, maka itu adalah salah besar.
KSPSI juga mempertanyakan biaya investasi di Indonesia. Ada banyak ungkapan bahwa berinvestasi di Indonesia itu sulit dan mahal. Jika memang benar, hal tersebut dipastikan akan membuat para calon investor berpikir dua kali untuk melakukan investas. Dalam hal ini, KSPSI YRS meminta Pemerintah dapat menciptakan iklim yang dapat memudahkan dengan biaya tidak malah agar para investor dapat lebih tertarik membuka usahanya di Indonesia
Di akhir diskusi Bibit Gunawan menyarankan bahwa untuk mendapatkan keseimbangan baru tentang kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia semua pihak harus duduk bersama. Satu demi satu permasalahan harus diperbaiki. Dan satu hal yang diharapkan dari Pemerintah yaitu kejujuran. Hal ini mengingat pengalaman mengenai nilai uang pesangon yang hilang dapat di tergantikan dengan uang Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang diklaim senilai enam bulan upah. Namun pada kenyataannya, nilai JKP ternyata tidak sesuai nilainya saat dijalankan.
Ditulis oleh : Hendi Purnomo / Waketum DPP KSPSI Yorrys Raweyai