Sehubungan dengan kewajiban Pemerintah Indonesia untuk menyampaikan pelaporan implementasi instrumen ketenagakerjaan ILO yang telah diratifikasi untuk periode tahuun 2025, Sekretariat Jendral Kementerian Ketenagakerjaan RI menyelenggarakan konsultasi Tripartit dalam rangka menyusun laporan. Dimana batas pelaporan Pemerintah Indonesia ke ILO Jenewa adalah pada tanggal 1 September 2025.
Kegiatan yang dilaksanakan di Hotel Aston Priority TB Simatupang, Jakarta tanggal 12 – 13 Agustus 2025 berfokus pada penyusunan laporan terkait 4 konvensi ILO yang sudah diratifikasi olej Pemerintah Indonesia. Konvensi – konvensi tersebut adalah :
- Konvensi ILO No. 29 tahun1930 tentang Kerja Paksa,
- Konvensi ILO No. 105 tahun 1957 tentang Penghapusan Kerja Paksa,
- Konvensi ILO No. 138 tahun 1973 tentang Usia Minimum, dan
- Konvensi ILO No. 182 tahun 1999 tentang Bentuk Terburuk Pekerja Anak.
Dikarenakan pelaporan ini adalah pelaporan Tripartit, maka wajib dibahas oleh tiga pihak, yaitu Pihak Pemerintah, Pihak Pengusaha dan Pihak Pekerja.
Pihak Pemerintah yang hadir adalah Kementerian Hukum dan Ham, Kementerian Perhubungan, Kementerian Luar negeri, Kementerian Sosial, KP2MI, PTRI Jenewa, BNN, Mabes POLRI.
Pihak Pengusaha yang diwakili oleh Apindo dan Kadin.
Dan dari pihak pekerja dihadiri oleh 5 perwakilan konfederasi Serikat Pekerja yaitu KSPSI Yorrys Raweyai, KSPSI Andi Gani, KSPI, FKSPN, KSBSI.
Acara yang dibuka oleh Kepala biro Kerja sama Kementerian RI, Purwanti Uta Djara, S.Kom., M.M. dibagi menjadi 2 sesi utama. Sesi pertama adalah pemaparan dari Bareskrim POLRI tentang peran dan langkah konkret POLRI dalam pencegahan dan penindakan tindak pidana perdagangan orang, kerja paksa serta perlindungan kebebasan berpendapat.
Sesi kedua adalah Pleno Tripartit Penyusunan Laporan. Sesi ini membahas dan menyusun apa saja yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terkait dengan 4 konvensi ILO yang sudah diratifikasi tersebut. Sekaligus merumuskan tindak lanjut nasional untuk Pemerintah Indonesia.
SESI PEMAPARAN
Sesi pemaparan dari MABES POLRI disampaikan oleh Kompol Syarifah Nurhuda, SIK,. M.H. dari Direktorat PPA dan PPO POLRI. Disampaikan bahwa usaha POLRI dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) adalah tindak kejahatan menjadi salah satu perhatian dari Presiden RI. Untuk itu Presiden RI membuat Gugus Tugas untuk mengurangi dan memberantas TPPO. Gugus tugas TTPO ini mempunyai Ketua I yaitu Menteri Polhukam, Ketua II yaitu Menteri Koordinator PMK dan Ketua harian yaitu Kapolri.
Didalam gugus tugas tersebut terdapat 7 sub gugus tugas (SGT). Sub gugus tugas tersebut adalah SGT Pencegahan ( Kemenham, Kemenhub, Kemnaker dan KP2MI), SGT rehabilitasi kesehatan (Kemenkes, KP2MI), SGT RehabSos Pemulangan dan Reintegrasi sosial (Kemensos, Kemenlu, Kemenham, Kemenhhub, Kemnaker, POLRI, KP2MI, BPJS dan LPSK), SGT Pengembangan norma hukum (Kemenhub, Kemenlu, kemnaker, KP2MI dan POLRI), SGT Penegakan hukum (POLRI, Kemenham, Kemenhum, Kemnaker, KP2MI, Kejagung, LP2SK), SGT Koordinasi (KP2MI, Kemnaker, POLRI).
Jumlah terbanyak laporan TPPO yang diterima POLRI adalah ditahun 2023. Angkanya semakin menurun sampai tahun 2024 seiring POLRI melakukan tindakan pencegahan dan penindakan. Berdasarkan laporan, bentuk/modus dari TPPO adalah Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang tidak sesuai prosedur (kebanyakan negara Timur Tengah), ditawari menjadi custumer service dan Operator toko, namun setelah diluar negeri menjadi operator judi online ( Negara Kamboja), menjadi anak buah kapal, menjadi Pengantin pesanan (Taiwan), ditawari menjadi Pekerja dibidang kecantikan dan perawatan ternyata menjadi Pekerja Seks komersial.
Modus kejahatannya adalah dijanjikan gaji tinggi, bekerja 7 jam sehari, hidup berkecukupan dan layak, diberikan pengalaman sukses dari TKI yang berhasil di luar negeri. Janji dan harapan ini jelas membuat banyak orang tergiur dan akhirnya mendaftar menjadi PMI Ilegal. Dan lebih disayangkan, dari banyak yang berangkat menjadi PMI ternyata tidak mempunyai keterampilan, terjerat hutang. Mereka terperangkap di luar negeri, harus membayar hutang dan ada banyak kasus sampai dijual organ tubuhnya.
Dari data yang dimiliki oleh KP2MI, Indonesia memiliki 9 juta PMI diluar negeri. Dengan 4,7 juta terdata legal dan 4,3 juta terdata ilegal. POLRI mendeteksi terdapat 3 jalur pengiriman PMI, yaitu Jalur Darat, Jalur Laut dan Jalur Udara. Jalur udara adalah melalui Bandar Sukarno Hatta, Bandara Kualanamu Medan, Bandara Hang Nadim Batam, Bandara Juanda Surabaya, Bandara Lombok, Bandara Ngurah Rai Bali dan Bandara Internasional Yogyakarta. Dari jalur laut melalui di Pelabuhan Batam Centre, Nunukan, Aji Kuning, Bengkalis, Dumai, Asahan dan Tanjung Pinang. Dari Jalur Darat melalui Kalimantan Barat – Serawak ( Nanga badau, Jagoi babang)
Untuk pemetaan daerah yang menjadi korban PMI Ilegal tersebar didaerah di Indonesia. Daerah tersebut adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Riau, Batam, NTB, Kalimantan Barat dan Sumatra Utara. Kebanyakan mereka menjadi korban Pekerja Seks Komersial dan Kejahatan scammer.
Terdapat 4 faktor penyebab terjadinya TPPO di Indonesia. Faktor pertama adalah faktor geografis, dimana Indonesia memiliki perbatasan darat dan laut yang dimanfaatkan oleh pelaku untuk bisa pergi ke negera tetangga. Faktor kedua adalah faktor ekonomi, dimana PMI ingin menjadi kaya hidup berkecukupan dan layak. Faktor ketiga adalah faktor Sosial dan budaya, dimana korban bukan merasa sebagai korban. Faktor keempat adalah faktor kelembagaan, dimana sebelumnya upaya pemberantasan TPPO bukan menjadi tugas bersama.
Polri menyarankan agar pekerja yang ingin bekerja ke luar negeri diharapkan bisa melalui prosedur yang benar sesuai peraturan. Dengan terlebih dahulu mengisi aplikasi Siap Kerja yang ada di Kemnaker. Setelah itu mengisi aplikasi SISKOP2MI, jangan memalsukan dokumen dan memilih agen PMI yang tidak terdaftar di Kemnaker.
SESI TRIPARTIT – PENYUSUNAN LAPORAN
Laporan ini adalah laporan Pemerintah Indonesi yang merupakan bagian dari mekanisme pengawasan dari ILO. Laporan ini wajib ini disusun secara Tripartit Nasional yang secara rutin dibuat per 2 tahun.
Laporan ini dibuat untuk menanggapi dari pertanyaan dari komite Ahli ILO yang sifatnya bukan hanya teoritis atau diatas kertas.
Laporan ini harus menjelaskan posisi Pemerintah Indonesia dalam melakukan tindakan nyata terkait dengan konvensi yang dipertanyakan.
Pelaporan diharapkan memasukkan catatan administrasi yang relevan dan sesuai dengan fakta dilapangan. Untuk itu perlu ada data statistik dari yang mendukung dari masing – masing konvensi yang sudah diratifikasi, Diperlukan juga bagaimana praktek penerapannya di Indonesia. Kemudian juga harus disertakan tentang hambatan dalam pelaksanaan dan upaya/solusi yang sudah dilakukan dalam menyelesaikan hambatan tersebut.
Dalam pembahasan Konvensi ILO No. 29 tahun1930 tentang Kerja Paksa, Komite Ahli diantaranya meminta Pemerintah Indonesia memperkuat penegakan hukum dalam kasus perdagangan orang. Komite ahli juga meminta pemerintah Indonesia memberikan informasi rinci mengenai kegiatqn dalam pelaksanaan satuan tugas anti perdagangan orang.
Dalam menjawab pertanyaan ini, Pleno Tripartit Indonesia melaporkan bahwa Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk memerangi tindak pidana perdagangan orang dengan memberlakukan Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidanan Perdagangan Orang ( UU PTPPO). Pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Presiden No. 69 tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan orang yang kemudian direvisi dengan Keputusan Presiden No. 22 tahun 2021 dan Perpres No. 49 tahun 2023.
Dalam pembahasan Konvensi ILO No. 105 tahun 1957 tentang Penghapusan Kerja Paksa, Komite Ahli diantaranya meminta Pemerintah Indonesia terus meningkatkan upaya perlindungan pekerja migran agar tidak terjebak dalam praktik kerja paksa. Komite ahli juga meminta agar Pemerintah Indonesia memperluas kerja sama dengan negara – negara terkait penempagan pekerja migran profesional dan terampil.
Menjawab permintaan dari Komite ahli ini, Pleno Tripartit Indonesia melaporkan bahwa Pemerintah telah melakukan upaya perluasan kerja sama bilateral dengan negara – negara lain terkait penempatan pekerja migran profesional dan terampil. Negara – negara tersebut antara lain adalah Negara Kanada di Provinsi New Brunswick untuk Sektor kesehatan, Negara Jerman di Provinsi Bundesagentur Fur Arbeit untuk sektor Pariwisata dan Negara Malaysia untuk sektor Konstruksi.
Dalam pembahasan Konvensi ILO No. 138 tahun 1973 tentang Usia Minimum, Komite Ahli diantaranya meminta agar Pemerintah Indonesia memperkuat penegakan hukum dan kasus perdagangan anak. Komite ahli juga meminta pemerintah Indonesia memberikan informasi rinci mengenai kegiatan dalam pelaksanaan pemberantasan perdagangan anak.
Menjawab permintaan dari Komite ahli ini, Pleno Tripartit Indonesia melaporkan bahwa meski Pemerintah Indonesia mengakui bahwa target program “ Indonesia Bebas Pekerja Anak Pada Tahun 2022” belum tercapai, tercatat adanya penurunan signifikan jumlah pekerja anak dari tahun 2008 hingga tahun 2020. Program pengurangan Pekerja Anak telah berhasil mengintegrasikan kembali 143.456 pekerja anak bisa kembali menikmati pendidikan formal di sekolah dan pelatihan kejuruan. Program pengurangan Pekerja anak tersebut tertuang dalam Undang – Undang No. 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia melalui pasal 5, Permenaker No. 33 tahun 2016 tentang Tata Cara Pengawasan Ketenagakerjaan dan Pasal 9 B pada Permenaker No. 1 tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 33 tahun 2016 tentang Tata cara Pengawasan Ketenagakerjaan terkait Pelanggaran pekerja anak, tindakan Represif Yustisial dapat dikakukan secara langsung tanpa melalui tahapan Pelaksanaan Pengawasan ketenagakerjaan.
Dalam Pembahasan Konvensi ILO No. 182 tahun 1999 tentang Bentuk Terburuk Pekerja Anak, Komite Ahli diantaranya meminta agar Pemerintah Indonesia memberikan informasi rinci mengenai kegiatan dalam pelaksanaan menghapus bentuk terburuk pekerja anak.
Menjawab permintaan dari Komite ahli ini, Pleno Tripartit Indonesia melaporkan bahwa Pemerintah secara serius melakukan upaya – upaya dalam memerangi dampak terburuk pekerja Anak. Upaya – upaya tersebut diantaranya adalah membuat Program Sekolah Rakyat. Program ini memberikan akses Pendidikan gratis bagi anak – anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem. Program ini dirancang untuk membantu mengurangi angka putus sekolah serta meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Dasar regulasi ini merujuk pada Keputusan Presiden No. 8 Tahun 2025 dan Keputusan Menteri Sosial RI NO. 49/HUK/2025.
Pemerintah juga menyelenggarakan Pendidikan Kesetaraan, Khususnya paket A dan B. Program ini memberikan kesempatan bagi masyarakat yang terkendala akses pendidikan formal untuk mendapatkan ijazah setara SD dan SMP.***Hendi Purnomo (Wakil Ketua Umum DPP KSPSI)