Selasa, 22 Juli 2025 Dalam rangka peningkatan kesempatan dan perlakuan yang sama (non diskriminasi) dalam pekerjaan di tempat kerja, Direktorat Hubungan Kerja dan Pengupahan, Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan lndustrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja menyelenggarakan kegiatan “Dialog dan Edukasi Kesetaraan Syarat Kerja dalam pengaturan Perjanjian Kerja Bersama untuk Meningkatkan Produktivitas di Perusahaan” bertempat di Hotel Grand Sollmarina, Tangerang, Banten yang di hadiri 50 peserta dari unsur LKS Bipartit, Pengusaha, Serikat Pekerja/ Serikat Buruh, Pengawas Disnaker Kota/ Kabupaten Tangerang, Banten .
Dalam sambutannya sekaligus arahan Ditjen PHI dan Jamsos Kemenaker R.I. Indah Anggoro Putri menyampaikan ‘Hak yang sama antara perempuan dan laki-laki tercantum dalam UUD 1945 pada Pasal 27 (ayat 2) dinyatakan bahwa: Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sedangkan hak dalam bekerja disebutkan dalam UUD 1945 pada Pasal 28D (ayat 2), yaitu: setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Kemudian dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, No. 13 Tahun 2003, pada Pasal 5 dan 6, yang menjadi strategi nasional kesempatan dan perlakuan yang sama dalam pekerjaan, mengamanatkan bahwa: ”Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan” dan ”Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha”.
Gambaran kesenjangan gender di tempat kerja, dapat dilihat dari Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) 2025 yang mencatat bahwa: berdasarkan jenis kelamin, pada Februari 2025 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) laki-laki sebesar 84,34%, lebih tinggi dibanding TPAK perempuan yang sebesar 56,70%. Kemudian dibandingkan Februari 2024, TPAK laki-laki dan perempuan mengalami kenaikan, masing-masing sebesar 0,32% poin dan 1,29% poin. Selanjutnya terkait upah, pada Februari 2025 Upah pekerja laki-laki sebesar Rp. 3.367.566, lebih besar jika dibanding Upah pekerja perempuan yang sebesar Rp. 2.612.012. Tetapi walaupun demikian, jika dilihat dari Indeks Ketimpangan Gender (IKG) pada tahun 2024 sebesar 0,421 turun 0,026 poin dibandingkan tahun 2023 sebesar 0,447.
IKG yang semakin rendah menunjukkan perbaikan dalam kesetaraan gender. Kesempatan dan perlakuan yang sama dalam pekerjaan yang mencakup segala kebijakan termasuk pelaksanaannya, bertujuan untuk menghapuskan terjadinya diskriminasi dan menciptakan kesetaraan di tempat kerja. Kesetaraan di tempat kerja tidak hanya melindungi hak pekerja/buruh saja, tetapi juga bermanfaat bagi pengusaha dalam memberikan kontribusi terhadap kondisi kerja yang lebih harmonis, termasuk dalam membantu peningkatan produktivitas melalui peningkatan keterampilan bagi seluruh pekerja/buruh tanpa membedakan antara laki-laki dan Perempuan.
Hal senada disampaikan oleh Tri Ruswati Wakil Sekretaris Bidang Pemberdayaan Perempuan DPP KSPSI yang juga di daulat menjadi salah satu narasumber “Upaya Pencegahan Diskriminasi dan Tindakan Pelecehan Seksual Yang Terjadi di Tempat Kerja”, menyampaikan bahwasanya Konvensi ILO yang relevan dengan perlindungan pencegahan diskriminasi dan tindak pelecehan seksual di dunia kerja adalah Konvensi ILO No. 190 (C190) tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja. Konvensi ini mengakui hak setiap orang atas dunia kerja yang bebas dari kekerasan dan pelecehan, termasuk yang berbasis gender. Selain Konvensi 190, Konvensi ILO No. 100 tentang Upah yang adil, dan Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi juga berkontribusi pada upaya pencegahan diskriminasi dan pelecehan, karena diskriminasi dapat menjadi faktor pemicu kekerasan dan pelecehan. Sangat disayangkan pemerintah Indonesia sampai saat ini belum meratifikasi Konvensi ILO No. 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja, meskipun Indonesia telah menyetujui konvensi tersebut.
Penting dicatat bahwa ratifikasi Konvensi ILO No. 190 oleh suatu negara akan membawa implikasi hukum dan praktis yang siginifikan dalam upaya menciptakan dunia kerja yang bebas dari kekerasan dan pelecehan.
Lebih lanjut disampaikan Tri Ruswati, meskipun sudah disahkan Undang-undang No. 12 tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) merupakan kemajuan penting, beberapa kelemahan masih terlihat dalam upaya pencegahan diskriminasi dan pelecehan seksual di tempat kerja. Beberapa diantaranya adalah kurangnya pemahaman dan sosialisasi yang masif, kesulitan pembuktian, serta keterbatasan fasilitas pendukung bagi korban. Selaras dengan UU TPKS, Menteri Tenaga Kerja R.I. juga telah menerbitkan Kemenaker No. 88 tahun 2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja, dan menyebutkan yang paling sering terjadi di tempat kerja adalah pelecehan seksual. Apalagi peserta juga telah mendengarkan langsung testimoni kejadian dari Wiwit Widuri di mana ia pernah mengalami sendiri Tindak Pelecehan Seksual di tempat kerja saat masih menjadi staff di sebuah organisasi, yang dilakukan oleh oknum pemimpin atau pengurus dan menimbulkan traumatik berkepanjangan, ini sangat memprihatikan sekaligus menunjukan bahaya tindakan kekerasan seksual bisa mengancam siapapun, dimanapun, kepada siapapun, tidak hanya mengancam kaum perempuan saja tetapi juga bisa terjadi pada kaum laki-laki dan pelakunya dapat dilakukan oleh semua jenis kelamin karena relasi kuasa. Dan salah satu penyebabnya karena belum adanya pemahaman, kesadaran dan komitmen bersama untuk mencegah Tindak Kekerasan Seksual di Tempat Kerja’.
Dengan adanya “Dialog dan Edukasi Kesetaraan Syarat Kerja dalam pengaturan Perjanjian Kerja Bersama untuk Meningkatkan Produktivitas di Perusahaan” ini, diharapkan untuk ‘ada komitmen bersama Zero Tolerance Kekerasan Seksual dan diskriminasi di tempat kerja’.
Pencegahan diskriminasi dan tindak kekerasan seksual di tempat kerja dapat dilakukan melalui berbagai upaya, termasuk membangun budaya kerja yang aman dan inklusif, serta memberikan edukasi dan pelatihan kepada seluruh karyawan, supervisor, manager. Selain itu, penting juga untuk memiliki kebijakan yang jelas mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, serta sistem pelaporan yang mudah diakses dan ditangani secara serius dan adil.
Dengan menerapkan upaya-upaya ini secara konsisten dan komprehensif perusahaan dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman, nyaman, inklusif, bebas dari diskriminasi dan kekerasan seksual, dan setara bagi semua karyawan.*** Tri Ruswati