Kspsi newsletter, Jum’at 29 Desember 2023, Aliansi 6 (enam) Konfederasi Serikat Pekerja/ Serikat Buruh : KSBSI , KSPSI ATUC, KSPSI Pimpinan Yorrys Raweyai, KSPI, K.SARBUMUSI, dan KSPN berkesempatan beraudensi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang diterima langsung oleh ibu Lenny N. Rosalin, SE, M.Sc, M.Fin Deputi Bidang Kesetaraan Gender KemenPPPA R.I. dalam rangka untuk menyampaikan draft usulan ‘kertas posisi’ 6 Konfederasi SP/ SB.
Dalam audensi tersebut Sulistri Ketua koordinator 6 Konfederasi SP/SB menyampaikan beberapa hal masukan dari hasil kertas posisi, Hak maternitas merupakan hak asasi manusia yang khusus melekat pada perempuan karena fungsi reproduksinya, seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui. Fungsi ini bukan hanya bersifat personal, melainkan juga sosial karena berkait langsung dengan keberlangsungan kehidupan manusia dan bangsa. Karena itu, pemenuhan dan pelindungan hak maternitas adalah tanggung jawab semua pihak, terutama negara. Pemenuhan hak maternitas juga merupakan salah satu pemenuhan prinsip keadilan substantif berbasis gender sehingga tidak boleh berdampak pada pembakuan peran gender perempuan di ruang domestik, pembatasan pemenuhan hak bekerja dan berserikat bagi perempuan bekerja. Untuk itulah 6 Konfederasi SP/ SB yang tergabung dalam Aliansi RUU KIA mengusulkan beberapa hal terkait draft RUU KIA yang Pemenuhan dan pelindungan hak maternitas telah dijamin Konstitusi yaitu UUD NRI 1945, khususnya hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan (Pasal 28B ayat (1), karena pemenuhan hak maternitas berpaut-erat dengan hak-hak fundamental lainnya, yakni hak atas kesehatan termasuk kesehatan reproduksi dan hak atas kerja layak sebagaimana dimandatkan Tujuan 8 Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) termasuk hak atas pengembangan diri atau karir dan hak berorganisasi. Dengan demikian, perempuan berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi perempuan. Perlindungan hak maternitas juga telah ditegaskan pada Konvenan Internasional mengenai Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2005. Pasal 10 ayat (2) Kovenan ini menyebutkan “Perlindungan khusus harus diberikan kepada para ibu selama jangka waktu yang wajar sebelum dan sesudah melahirkan. Selama jangka waktu itu para ibu yang bekerja harus diberikan cuti dengan gaji atau cuti dengan jaminan sosial yang memadai”. Larangan melakukan diskriminasi dan memberikan perlindungan maternitas berupa cuti melahirkan, cuti keguguran, hak menyusui, dan larangan pemutusan hubungan kerja saat cuti juga diatur dalam Kovenan ini. Hak maternitas ini juga berkaitan dengan hak anak untuk tumbuh dan berkembang.
Pengaturan tentang hak maternitas bagi perempuan pekerja saat ini merujuk pada UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya pasal 81 dan pasal 93 ayat (2) huruf b tentang istirahat saat menstruasi, dan Pasal 82, 84 dan 153 terkait cuti melahirkan dan keguguran, juga pasal 93 ayat (2) huruf b dan ayat (4) huruf e bagi cuti pendampingan suami dari istri yang melahirkan atau keguguran. Pada UU ini, hak cuti melahirkan adalah selama 3 bulan dan 1,5 bulan untuk keguguran, yang keduanya berupah penuh dan tidak boleh menjadi alasan pemutusan hubungan kerja. Sementara bagi suami, cuti pendampingan adalah sebanyak 2 hari berupah penuh. Tentunya, pengaturan ini hanya berlaku bagi pekerja di sektor formal, padahal lebih banyak lagi perempuan yang bekerja di sektor informal. Termasuk di antaranya adalah perempuan pekerja rumah tangga yang upaya advokasi pelindungan hukumnya telah berjalan hampir dua dekade, pekerja pada ekonomi perawatan yang menerima upah di bawah UMP jauh dari kata kerja layak.
Sementara itu, implementasi dari hak maternitas dalam UU Ketenagakerjaan juga masih menghadapi banyak rintangan. Sebagai catatan SP/SB masih menemukan Perempuan pada tiga tahun terakhir mendokumentasikan sejumlah kasus diskriminasi, kekerasan dan pelanggaran hak maternitas yang dialami oleh pekerja perempuan. Kasus-kasus perusahaan yang melanggar hak maternitas pekerja perempuan antara lain ; pemutusan hubungan kerja karena hamil dan melahirkan, serta perampasan hak cuti haid. Tahun 2021 Serikat Pekerja mendokumentasikan laporan 18 buruh perempuan keguguran yang diduga karena kondisi kerja yang buruk. Sedangkan tahun 2022 mencatat bahwa terjadi 108 kasus kekerasan di dunia kerja, mencakup pelanggaran hak-hak dasar seperti hak perlindungan kerja yang layak dan hak bebas dan diskriminasi dan kekerasan termasuk pelanggaran hak maternitas (cuti haid, hamil, melahirkan). Aliansi 6 Konfederasi SP/ SB juga menemukan masih ada pembatasan kesempatan kerja oleh korporasi terkait fungsi reproduksi perempuan.
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka Aliansi 6 Konfederasi SP/SB merekomendasikan agar:
(a). Mengapresiasi usulan cuti hamil dan melahirkan selama 6 bulan sebagai bagian dari upaya menguatkan hak maternitas perempuan, dimana 3 bulan pertama tetap dibayarkan upah 100% dan 3 bulan berikutnya 75%. Serta hak pendampingan bagi suami selama 40 hari untuk kelahiran dan 7 hari untuk kasus keguguran. Sejumlah negara atau organisasi masyarakat sipil juga sudah menetapkan hal serupa.
(b).Mengapresiasi adanya perhatian khusus pada keterhubungan hak maternitas dengan isu kekerasan terhadap perempuan dan pada kebutuhan perempuan penyandang disabilitas dalam mengakses hak maternitas
(c).Mengingatkan bahwa penerapannya membutuhkan alokasi anggaran yang cukup dan mensyaratkan pengawasan yang ketat, mengingat berbagai pelanggaran yang terjadi terhadap UU Ketenagakerjaan selama ini. Negara perlu mengantisipasi pengalokasian anggaran jika ada tempat kerja yang tidak sanggup, meskipun bersedia untuk melaksanakannya.
(d).Mengenali pengaturan tersebut dapat berpotensi menjadi penghambat hak bekerja perempuan yang juga dilindungi oleh undang-undang. Pemastian korporasi untuk tunduk pada aturan, termasuk tidak melakukan pembatasan kesempatan kerja pada masa rekrutmen perlu dilengkapi dengan langkah afirmasi tambahan untuk memastikan pengambilan cuti ini tidak akan mempengaruhi kesempatan pengembangan karir.
(e).Mengidentifikasi adanya kebutuhan kejelasan cuti pendampingan suami juga berbayar utuh sehingga suami saat mengambil cuti tidak kuatir merisikokan penghasilan keluarga. Jika suami/ayah meninggal atau berpisah, maka untuk cuti pendampingan dapat diperluas bagi anggota keluarga terdekat.
(F).Menggarisbawahi tanggung jawab negara dalam mengembangkan program pendidikan terkait keadilan gender, kesehatan reproduksi termasuk fungsi maternitas di semua jenjang pendidikan dan sektor. Program ini akan berkontribusi untuk memastikan cuti pendampingan suami benar-benar digunakan untuk meringankan beban kerja domestik dan pengasuhan dari pihak perempuan. Program ini terutama penting dalam masyarakat patriarkis yang masih melekatkan peran domestik sebagai tugas perempuan.
(g).Mengidentifikasi adanya risiko pembakuan peran domestik berbasis gender terhadap perempuan, a.l. tampak dalam pengaturan yang mengesankan penekanan kewajiban ibu pada tanggung jawab pengasuhan seperti dalam pasal 4 ayat (1) huruf i tentang hak untuk mendapatkan pendidikan perawatan, pengasuhan (parenting) dan tumbuh kembang anak; pasal 4 ayat (2) huruf d tentang hak cuti untuk kepentingan terbaik anak, dan pasal 10 ayat (1) mengenai kewajiban Ibu. Pengaturan serupa ini mengurangi peran ayah, yang pada pasal 10 ayat (2) dinyatakan memiliki kewajiban bersama dengan Ibu dalam tanggung jawab memastikan kesejahteraan anak.
(h). Termasuk di dalam memberikan perlindungan terhadap pekerja disektor perawatan, seperti pekerja Paliatif, PAUD, Daycare untuk memastikan mereka bekerja sebagai ‘kerja layak, upah UMP, dan mendapatkan Jaminan Sosial’.
(I).Seluruh Pembiayaan Daycare (pembuatan sarana & prasarana, termasuk gaji Perawatan/pengasuh, alat main anak, buku-buku, alat peraga, makanan dan susu Anak, dan lain-lain) dan Ruang Laktasi sepenuhnya menjadi tanggungjawab Pemberi kerja atau pemilik/pengelola tempat-tempat umum.
Untuk itu diperlukan kejelasan waktu untuk memastikan proses legislasi baru dan harmonisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ada.
Sementara ibu Lenny N. Rosalin, SE, M.Sc, M.Fin Deputi Bidang Kesetaraan Gender KemenPPPA RI saat menerima audiensi Aliansi 6 Konfederasi SP/SB, menyambut baik sekaligus menyampaikan terima kasih atas kunjungan sekaligus dialog sosial untuk mendapatkan masukan-masukan terkait masalah perlindungan ibu pekerja/ buruh perempuan dan anak di dalam Rancangan Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA). Sebab, kesejahteraan ibu dan anak tidak bisa tercapai tanpa adanya partisipasi masyarakat, karena partisipasi masyarakat yang merupakan ujung tombak sampai di tingkat desa dan bersentuhan langsung dengan persoalan riil kesejahteraan ibu dan anak. Oleh karena itu, saya memandang pertemuan atau dialog ini menjadi sangat krusial untuk dilaksanakan. Menurutnya, kesejahteraan ibu dan anak meliputi sejahtera secara fisik, psikis, sosial, ekonomi dan spiritual yang merupakan satu kesatuan dan saling mempengaruhi. “Ibu yang kesejahteraannya terjamin akan melahirkan anak yang bertumbuh kembang dengan baik sebagai SDM yang unggul dan generasi penerus bangsa di masa depan”.
Disampaikan juga bahwa RUU KIA sudah melalui tahapan pembahasan dengan melibatkan para perwakilan lembaga masyarakat untuk memberikan masukan terkait DIM RUU KIA agar dapat menjadi payung hukum yang komprehensif, responsif gender serta tidak menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan sebagai masukan secara tertulis untuk memperkaya DIM yang tengah disusun dan meningkatkan kualitas RUU KIA yang terdiri atas 9 bab dan 44 pasal. RUU KIA tentunya harus mengakomodir kebutuhan semua pihak tidak hanya disatu sisi dilihat dari kebutuhan ibu dan anak perempuan pekerja/ buruh disektor formal maupun informal, lebih lanjut dijelaskan seperti : usulan awal cuti hamil dan melahirkan selama 6 bulan bagi pekerja / buruh sebagai bagian dari upaya menguatkan hak maternitas perempuan, dimana 3 bulan pertama tetap dibayarkan upah 100% dan 3 bulan berikutnya 75%. Serta hak pendampingan bagi suami selama 40 hari untuk kelahiran dan 7 hari untuk kasus keguguran setelah melalui pertemuan dan pembahasan dengan pemangku kepentingan agar tidak tumpang tindih dengan peraturan yang ada, dikembalikan kembali kepada peraturan Perundang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13/ 2003 dan UU Ciptaker, tetapi jika ada perusahaan yang akan memberikan hak cuti lebih melalui Peraturan Perusahaan atau PKB dipersilahkan. Sedangkan pemerintah akan focus mendorong pemerintah daerah (desa) untuk menaikan kualitas sarana dan prasarana PAUD, Daycare di tingkat desa-desanya, termasuk tenaga perawatannya, dengan pembiayaan azas gotong royong seperti semangat Jaminan Sosial. Lebih lanjut, disampaikan terima kasih atas masukan ekonomi perawatan pada pekerja Paliatif, caregiver yang bekerja dari jam 07.00 pagi sampai jam 17.00 sore selama 6 hari kerja hanya di gaji berkisaran 1.200.000,- sampai 1.500.000,- rupiah perbulannya, dan tidak mendapatkan Jaminan Sosial, sehingga dikatakan sebagai pekerja di ekonomi perawat hidup dalam keprihatinan karena kerja dibayar dengan nominal jauh dari kata cukup dan ‘kerja tidak layak’, agar disampaikan dengan data pendukung, yang nantinya akan disampaikan sebagai masukan ke DPR RI. Mengakhiri pertemuan dialog sosial dengan kawan-kawan Aliansi 6 Konfederasi SP/SB “Andai Rancangan Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak ini disahkan mungkin tidak akan bisa memuaskan kesemua pihak, karena pemerintah harus mengakomodir kebutuhan masyarakat Indonesia secara luas guna mencapai tujuan Generasi Emas di tahun 2045”, pungkasnya mengakhiri pertemuan.
(Tri Ruswati – Wasekjen KSPSI Bidang Perempuan dan Anak)