Jakarta_Kspsinews,- Usia 25 tahun yang sering disebut quarter life merupakan suatu fase peralihan dari remaja akhir menjadi dewasa awal, itulah pencapaian 25 tahun keberadaan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan adalah lembaga negara yang independen untuk penegakan hak asasi manusia perempuan Indonesia. Komnas Perempuan dibentuk melalui Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998, pada tanggal 9 Oktober 1998, yang diperkuat dengan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005. Momentum itu dirayakan dengan acara puncak perayaan 25 Tahun Komnas Perempuan yang mengambil tema “Satu Suara, Wujudkan Cita-Cita: Perempuan Indonesia Aman, Sentosa, Berdaulat,” yang digelar di Ballroom Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, Rabu (15/11/2023).
Komnas Perempuan lahir dari tuntutan masyarakat sipil, terutama kaum perempuan, kepada pemerintah untuk mewujudkan tanggung jawab negara dalam menanggapi dan menangani persoalan kekerasan terhadap perempuan. Tuntutan tersebut berakar pada tragedi kekerasan seksual yang terutama dialami oleh perempuan etnis Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998 di berbagai kota besar di Indonesia.
Komnas Perempuan tumbuh menjadi salah satu Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia (LNHAM), sesuai dengan kriteria-kriteria umum yang dikembangkan dalam The Paris Principles. Kiprah aktif Komnas Perempuan menjadikan lembaga ini contoh berbagai pihak dalam mengembangkan dan meneguhkan mekanisme HAM untuk pemajuan upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan baik di tingkat lokal, nasional, kawasan, maupun internasional
Dalam sambutannya, Ketua Komnas Perempuan, Andy Yen Triyani mengatakan, kisah perjalanan 25 tahun Komnas Perempuan bukan sekadar mengenai Komnas Perempuan. Namun, tentang semua pihak yang berjuang untuk menghadirkan kehidupan yang bebas dari kekerasan. “Utamanya bagi perempuan yang menghadapi kerentanan khas akibat posisinya di dalam keluarga dan masyarakat, serta di mata negara,” ungkap Andy di depan para hadirin.
Kekerasan Berbasis Gender (KBG) terhadap perempuan yang semakin masif dan kompleks, pada 2022 tercatat meningkatnya tren angka kasus kekerasan diranah publik dan negara. Sayangnya kondisi ini tidak dibarengi dengan kecepatan dalam penyikapan kasus juga minimnya perlindungan dan pemulihan.
Sementara itu kasus kekerasan seksual menyebar luas di semua ranah dan usia, dari yang muda dan produktif di berbagai ruang termasuk ruang siber. Pelaku kekerasan masih orang-orang terdekat dan mereka yang diharapkan menjadi pelindung,contoh dan teladan seperti guru, dosen, tokoh agama, TNI, POLRI, Aparatur Sipil Negara, tenaga medis, pejabat publik dan aparat penegak hukum.
Lahir dari Tragedi Mei 1998, Komnas Perempuan juga tumbuh menjadi lembaga nasional HAM yang dirasakan kepemimpinannya dalam melaksanakan mandatnya untuk mengupayakan kondisi yang kondusif bagi penghapusan kekerasan terhadap perempuan. “Capaian yang diperoleh dalam dua puluh lima tahun ini dimungkinkan karena para pendiri menanamkan pondasi independen yang kuat dan mengakar pada Komnas Perempuan,” ungkap Andy.
Untuk merawat semangat independen itu, pondasi penting lain yang ditanamkan sedari awal adalah mekanisme untuk merawat roh gerakan perempuan dalam cara kerja Komnas Perempuan. Pertama, memastikan suara korban atau penyintas menjadi pelita dalam menapaki perjalanan perjuangan yang panjang dan kerap sunyi.
“Komnas Perempuan terus mengupayakan ruang untuk partisipasi substantif dari komunitas penyintas, pendamping korban dan perempuan pembela HAM untuk terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kerja Komnas Perempuan,” paparnya lagi.
Dalam kesempatan yang sama Tri Ruswati Wasekjen DPP KSPSI Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Anak menyampaikan harapannya agar Komnas Perempuan, merefleksikan pemenuhan hak-hak perempuan sekaligus refleksi sejauh mana cita-cita memberikan pelindungan kepada perempuan menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Di satu sisi terlihat kemajuan seperti lahirnya UU TPKS No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), merupakan suatu bentuk komitmen negara dalam memberikan jaminan hak asasi manusia secara menyeluruh, khususnya dari kekerasan dan diskriminasi, termasuk beberapa regulasi lain yang mendukung pemenuhan hak perempuan. Tetapi di sisi lain, hari ini, kita masih memiliki tantangan lain terkait pelindungan perempuan baik di sektor peran kepemimpinan perempuan, kerentanan perempuan sebagai korban tindak pidana kekerasan seksual di dunia kerja, baik pekerjaan formal maupun informal, seperti kerentanan pada pekerja migran perempuan yang masih banyak menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), diskriminasi kesenjangan hak upah antara laki-laki dan perempuan, diskriminasi perempuan HIV/AIDS, termasuk dalam pemenuhan hak maternitas dan paternitas, ekonomi perawatan karena belum diratifikasinya Konvensi ILO No.183 sampai hari ini oleh pemerintah Indonesia, untuk itulah kami melalui Pokja 6 Konfederasi SP /SB (KSPSI YRS, KSBSI, KSPSI ATUC, SARBUMUSI, KSPI, KSPN) sedang mengawal dan mendorong pemangku kepentingan untuk segera mensahkan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak yang merupakan bagian dari pelindungan dan pembela HAM bagi perempuan dan anak, “Selamat DIRGAHAYU KE 25 TAHUN KOMNAS PEREMPUAN Satu Suara, Wujudkan Cita-Cita: Perempuan Indonesia Aman, Sentosa, Berdaulat” pungkasnya.
Penulis : Tri Ruswati