Jakarta_Kspsinews,- Dewan Pengawas BPJS Kesehatan mengadakan Focus Group Discussion (FGD) yang diadakan di Kantor Pusat BPJS Kesehatan, Jakarta Pusat, Selasa (15/02/2023) menghadirkan narasumber diantaranya anggota unsur ahli DJSN Dr. Indra Budi Sumantoro, S.Pd., M.M, Direktur Social Security Development Institute Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar , Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera: Bivitri Susanti, S.H., LL.M , Pengamat Kebijakan Publik: Dr. H. M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum serta Direktur APINDO Research Drs. Paulus Agung Pambudhi, M.M,cWapres IV DPP KSPSI Bidang Pengupahan & Jaminan Sosial, Subiyanto, S.Sos., S.H., M.Kn dan Direktur eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin. Dalam FGD tersebut juga hadir perwakilan Konfederasi Serikat Pekerja dan Buruh seperti KSPN, KSPSI (AGN),KSPI, KSPSI, KSBSI, dan K SARBUMUSI. FGD tersebut membicarakan isu strategis yang saat ini hangat menjadi perhatian adalah terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Kesehatan yang dibuat dengan metode omnibus law yang sedang bergulir dan telah memasuki tahap awal pembahasan di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
Dalam FGD disoroti tentang RUU Omnibuslaw Tentang Kesehatan yang beredar di masyarakat yang merupakan hasil Rapat Paripurna Baleg DPR RI versi ketiga, dimana terdapat 478 pasal yang terdiri dari XX Bab. Secara khusus FGD menyoroti Pasal 422 dan 423 hingga 425 yang dibongkar pasang dengan pendekatan omnibus UU SJSN dan UU BPJS yang seharusnya bersifat Lex Specialist dimasukkan dalam RUU Kesehatan yang bersifat Generalis.
RUU Kesehatan akan memposisikan BPJS Kesehatan sebagai operator untuk membantu kementrian, bukan pada perlindungan kepastian mendapatkan pelayanan Kesehatan yang bermutu kepada peserta JKN. Keberadaan BPJS Kesehatan sebagai badan hukum publik dengan sumber DJS dari peserta, berpotensi untuk memperkuat struktur anggaran sektor Kesehatan, sebagai bentuk kontribusi kinerja terhadap kewajiban APBN Pemerintah. Dikuatirkan akan terjadi arogansi sektor kementrian yang berdampak pada semakin sulitnya peningkatan kinerja BPJS Kesehatan. Selain itu prinsip-prinsip jaminan sosial dalam UU SJSN akan terabaikan, bahkan berpotensi untuk dijadikan instrument kepentingan politik.
Jika BPJS yang merupakan badan publik yang tadinya bertanggungjawab kepada presiden menjadi dibawah kendali kementrian, maka bisa diduga bahwa BPJS akan mengalami privatisasi menjadi BUMN. Lalu apabila dikemudian hari terjadi kepailitan atau kerugian bagaimana nasib dana yang merupakan milik peserta JKN tersebut ?
RUU Kesehatan yang menyatakan BPJS bertanggung jawab kepada presiden melalui Menteri Kesehatan untuk BPJS Kesehatan dan Menteri Ketenagakerjaan untuk BPJS Ketenagakerjaan akan menjadikan rentang koordinasi dan pelaporan semakin menjauh serta ketergantungan secara politik ada pada mentri karena skema ketatanegaraan yang dipakai saat ini tidak berdasarkan professional (Strictly professional) melainkan berdasarkan politik.
Pada FGD tersebut juga dibahas tentang filosofi perlindungan sosial yang dapat dibagi atas dua bahagian yakni Sosial Security dan Sosial Assistance. Sosial Security sumber pendanaannya adalah peserta sedangkan Sosial Assistance sumber pendanaannya adalah APBN atau APBD. Pelaksana Sosial Security adalah BPJS dan Sosial Assistance adalah Kementrian. Sehingga jelas keduanya adalah badan publik yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden. Maka RUU Kesehatan sangat bertentangan dengan filosofi dari perlindungan sosial tersebut.
Beberapa pasal yang menjadi sorotan dalam FGD tersebut antara lain :
- Pasal 23 (UU SJSN) terkait Kerjasama dengan fasilitas kesehatan (faskes) dimana terdapat perubahan yang fundamental. UU SJSN menegaskan bahwa BPJS Kesehatan bekerja sama dengan faskes dengan pendekatan sukarela. Artinya, kesepakatan kedua belah pihak dengan menyepakati hak dan kewajiban masing masing. Namun, dalam RUU Kesehatan dinyatakan BPJS Kesehatan wajib menerima kerja sama yang diajukan faskes. Hal ini seolah mencederari prinsip kemandirian dan independensi dari BPJS Kesehatan dan hanya sekedar berfungsi menjadi instrumen birokrasi pemerintahan.
- Pasal 24 (UU SJSN), melalui RUU Kesehatan Kemenkes berkeinginan untuk bersama-sama dengan BPJS Kesehatan dalam mengembangkan sistem kendali mutu dan kendali biaya pelayanan. Sementara itu sebelumnya dalam UU SJSN kewajiban itu hanya diberikan kepada BPJS Kesehatan, karena terkait jaminan kesehatan yang bermutu dengan biaya yang efisien. Dengan demikian jika terdapat keterlibatan Kementerian Kesehatan dalam hal ini berpotensi akan terjadi conflict of Interest.
- Pasal 7 (UU BPJS), yang mengatur BPJS sebagai badan hukum publik. Pada ayat (2) RUU Kesehatan menyatakan BPJS bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Kesehatan untuk BPJS Kesehatan dan Menaker untuk BPJS Ketenagakerjaan. Sementara itu sebelumnya pada UU BPJS pada pasal yang sama menyebutkan BPJS bertanggung jawab kepada Presiden.
- Pasal 13 (UU BPJS), pada RUU Kesehatan poin (k) BPJS itu harus melaksanakan penugasan dari kementerian yang membidangi, sementara dalam Ketentuan Umum (Pasal 1) baik UU SJSN dan UU BPJS tidak terdapat nomenklatur Kementerian. Selanjutnya pada huruf (l) BPJS melaporkan pelaksanaan setiap program, termasuk kondisi keuangan, secara berkala 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden melalui menteri yang membidangi, sementara sebelumnya laporan dapat disampaikan langsung kepada Presiden.
- Pasal 21 (UU BPJS), dalam RUU Kesehatan ayat (3) diatur susunan keanggotaan Dewan Pengawas BPJS Kesehatan yang terdiri atas 2 (dua) orang unsur kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, 2 (dua) orang unsur kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, 1 (satu) orang unsur Pekerja, 1 (satu) orang unsur Pemberi Kerja, dan 1 (satu) orang unsur tokoh masyarakat. Sebelumnya pada UU BPJS, unsur pemerintah terdiri dari 2 orang, unsur pemberi kerja 2 orang, unsur pekerja 2 orang, dan tokoh dan atau ahli jaminan sosial 1 orang. Dengan ditunjukkan salah satu dari unsur pemerintah menjadi ketua Dewan Pengawas memberikan peran pemerintah sebagai ‘pengendali’ mengingat mekanisme kerja Dewan Pengawas adalah kolektif kolegial.
Peran seluruh unsur dalam keberlanjutan (sustainability) pelaksanaan program JKN sangatlah penting. Hingga saat ini, dari adanya berbagai pengaduan yang diterima BPJS Kesehatan menunjukkan bahwa masih terdapat permasalahan-permasalahan dalam implementasi JKN yang dialami oleh peserta. Dewan Pengawas BPJS Kesehatan sebagai perwakilan dariberbagai unsur yang berkepentingan dengan JKN sangat diharapkan perannya menjadi jembatan informasi yang dapat menampung berbagai masukan dari seluruh peserta, yang pada akhirnya dapat menjadi bahan penyusunan Saran, Nasihat dan Pertimbangan yang disampaikan kepada Direksi dalam rangka perbaikan pelaksanaan program kerja BPJS sebagai penyelenggara program JKN.