Home » Just Energy Transition Dialogue II Menghadirkan Narasumber OMS >>IJust Energy Transition Dialogue II Menghadirkan Narasumber OMS
Jakarta_Kspsinews,– Institute for Essential Services Reform (IESR) menyelenggarakan Dialog Transisi Energi Berkeadilan dengan melibatkan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), pada Kamis, 25 Juli 2024 di Akmani Hotel, Jakarta Pusat. Kegiatan tersebut menghadirkan narasumber diantaranya Suraya Abdulwahab Afiff, Ph,D ( Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poltik Universitas Indonesia, Mouna Wasef (Kepala Divisi Riset dan Advokasi Publish What You Pay) dan Royanto Purba (Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Kerah Biru-SPSI). Penyelenggaraan dialog ini bertujuan dalam menghimpun masukan dan pandangan dari OMS terkait prinsip dan kriteria/indikator transisi berkeadilan dalam konteks Indonesia; Menghimpun dan menyelaraskan strategi intervensi OMS dalam isu Transisi Berkeadilan di Indonesia.
Dalam pembukaan pemaparannya, Manajer Program Hijau IESR, Wira A Swadana menyampaikan komponen operasional dan indikator transisi berkeadilan. Wira menekankan bahwa tujuan utama dari kegiatan adalah untuk mendefinisikan transisi energi berkeadilan di Indonesia agar lebih implementatif. Dengan menampung masukan dari semua pemangku kepentingan baik dari pemerintah, pengusaha (swasta), OMS, dan Serikat Pekerja diharapkan mampu merumuskan suatu definisi yang tepat tentang apa yang disebut dengan Just Energi Transition.
JET sebagai konsep, alat dan harapan dalam perspektif pekerja
Sementara itu, Ketua Federasi Serikat Pekerja Kerah Biru-Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP Kerah Biru-SPSI) memaparkan bahwa perspektif pekerja pada transisi energi berkeadilan adalah Konsep, Alat dan Harapan.
Sebagai KONSEP dalam menghadapi dampak negatif kebijakan iklim (dekarbonisasi) pada ketenagakerjaan. Konsep Transisi Energi Berkeadilan memiliki makna bahwa transisi dari sumber energi fosil ke energi terbarukan harus dilakukan dengan cara adil dan merata dengan prinsip-prinsip utamanya meliputi distribusi yang adil dimana manfaat dan beban JET dibagi secara adil oleh semua pihak termasuk kelompok marginal. Prinsip pengakuan dimana kepentingan hak-hak semua pihak harus diakui dan dihormati dalam proses pengambilan keputusan terkait energi dan prinsip yang adil dimana proses JET harus transparan, akuntable dan partisipatif. Maka dengan demikian dampak negatif dari dekarbonisasi dapat teratasi
Sebagai ALAT yang penting dalam memastikan generasi mendatang mampu bertahan hidup layak akibat perubahan cuaca global (Climate Change). Transisi Energi Berkeadilan merupakan alat mengurangi emisi gas rumah kaca meningkatkan ketahanan energi, eningkatkan kesehatan masyarakat dan memperkuat Keadilan Sosial.
Sebagai HARAPAN bagi pekerja dalam kepastian mendapatkan pekerjaan dan pertumbuhan ekonomi. Diperkirakan transisi energi ke energi terbarukan dapat menciptakan hingga 1,5 juta lapangan kerja baru pada tahun 2030. Selain itu gaji dan tunjangan di sektor energi terbarukan lebih baik dan harapan akan stabilitas ekonomi, sebagaimana diketahui bahwa bakar fosil sering kali mengalami fluktuasi harga energi yang besar. Transisi ke energi terbarukan dapat membantu untuk mengurangi fluktuasi ini dan meningkatkan stabilitas ekonomi negara.
Aspek decent work harus menjadi acuan kebijakan
Ditinjau dari sudut ketenagakerjaan, transisi energi berkeadilan harus mengacu kepada kerja layak (Decent Work). Decent work yang dilandaskan pada penghormatan Hak Asasi Manusia dalam hal ini pekerja memiliki empat pilar yakni Penciptaan lapangan kerja, hak-hak pekerja, dialog sosial dan perlindungan sosial.
Keempat pilar tersebut dapat diukur dengan 10 indikator kerja layak diantaranya Kesempatan Kerja, Penghasilan yang Cukup, Waktu Kerja yang Layak, Keseimbangan Pekerja dan Keluarga, Pekerjaan yang harus dihapuskan, Stabilitas dan Keamanan Kerja, Kesempatan yang Sama dan Perlakuan yang Adil, Lingkungan Kerja yang Aman, Jaminan Sosial, dan Dialog Sosial.
Royanto menegaskan bahwa perubahan adalah suatu keniscayaan, suatu hall umrah menimbulkan kekuatiran bagi pekerja akibat risiko kehilangan pekerjaan. Namun dengan perspektif di atas tentu optimisme di kalangan pekerja dalam menyongsong perubahan dalam transisi energi berkeadilan akan mampu memberi dukungan pada implementasi transisi energi tersebut.
Dialog sosial sebagai kunci
Royanto juga menyoroti betapa pentingnya penguatan dialog sosial. Menurutnya ada beragam sudut pandang mengenai Transisi Energi Berkeadilan (Just Energy Transition). Dialog sosial merupakan wadah dalam menemukan cara membuat Bingkai yang menyatukan berbagai perspektif tersebut. Dialog yang terbangun haruslah bersifat proporsional bukan oposisional , dengan kata lain lebih bersifat konstruktif sehingga dihasilkan tidak sekedar kerangka kebijakan atau program , bahkan mampu membuat prinsip-prinsip panduan umum.
“Harus diingat bahwa kekuatan masyarakatlah yang ada atas ekonomi dan lingkungan” tegasnya.
Wakil Sekjen DPP KSPSI itu juga mengingatkan bahwa dalam kerangka JETP, perlu kewaspadaan segala kemungkinan yang dapat menghambat atau menggagalkan transisi energi yang berkeadilan tersebut. Bagaimanapun, komitmen negara-negara pendukung pendanaan transisi energi berkeadilan dapat saja membatalkan dukunganya dengan berbagai kemungkinan yang terjadi dalam ketidakpastian global, sementara disaat bersamaan Indonesia telah melakukan tindakan “pensiun” beberapa PLTU nya.
“Tentu ini harus juga diantisipasi dengan duduk bersama semua pemangku kepentingan untuk merumuskan langkah-langkah antisipasi jika terjadi risiko yang terburuk dari pelaksanaan transisi energi berkeadilan tersebut.” ungkapnya.
Royanto Purba dalam penutupan pemaparannya memberikan tiga Kesimpulan yakni : koherensi dan harmonisasi kebijakan dalam transisi energi yang berkeadilan, pembentukan dewan tripartit nasional transisi energi berkeadilan dan roadmap ketenagkerjaan dalam memberi arah bagi pekerja terdampak transisi energi berkeadilan.