Jakarta _kspsinews, Peristiwa genosida di Gaza sejak 7 Oktober 2023 yang menargetkan rakyat Palestina telah menewaskan setidaknya 13.000 jiwa dimana mayoritas korbannya adalah perempuan dan anak-anak, ini menggugah rasa kemanusiaan dan menyoroti penderitaan yang mendalam, terutama yang dialami oleh perempuan. Konflik yang berlarut-larut telah membawa dampak traumatis dan ketidaksetaraan gender yang merajalela. Di dalam sudut pandang hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), peristiwa ini menjadi sorotan internasional, memunculkan serangkaian tentang ketidakadilan, pelanggaran HAM, dan kebutuhan mendesak akan perlindungan terhadap warga sipil, terutama perempuan dan anak-anak.
Dalam menyikapi 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Sedunia yang diperingati secara global sedunia setiap tanggal 25 November hingga 10 Desember, mari kita mengeksplorasi suara hati perempuan di Gaza, meresapi kisah penderitaan yang sering terlupakan, dan merumuskan panggilan aksi bersama untuk menyuarakan dan menuntut perubahan sistem ekonomi, politik, sosial serta budaya yang memusatkan pada pemenuhan Hak Asasi Manusia.
Peperangan yang bertujuan untuk merampas kedaulatan rakyat Palestina adalah “peperangan” yang juga dirasakan oleh perempuan yang menjadi target kekerasan sistemik atas tubuh. Perempuan setiap hari harus berhadapan dengan ancaman kekerasan baik di rumah tangga, tempat kerja dan ruang sosial lainnya. Perempuan bekerja tanpa pengakuan dan minim perlindungan sosial. Pengerukan alam dan degradasi lingkungan pun berdampak pada perampasan ruang hidup perempuan. Di sisi lain, perjuangan untuk mempertahankan kedaulatan dan penegakan HAM kerap kali berujung pada kriminalisasi dan pembungkaman aktivis-aktivis Pembela HAM.
Melalui momen #16 HAKTP ini, kami hendak menyampaikan pentingnya solidaritas gerakan lintas organisasi dan sektor, lintas gender, lintas negara sebagai kekuatan untuk menghentikan eksploitasi tenaga kerja dan alam serta mewujudkan penegakan HAM bagi setiap orang.
Disampaikan Ketua JALA PRT Lita Anggraini, Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang sering mengalami banyak kekerasan, pelecehan, diskriminasi oleh majikan maupun penyalur, harapannya melalui Undang-undang Perlindungan PRT ini, hal-hal yang telah terjadi selama ini dapat diminimalisir, dapat dihindari, karena UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga untuk melindungi PRT dan pemberi kerja itu sendiri. Namun hampir dua dekade berlalu sejak digulirkan RUU PPRT pada tahun 2004 kenyataannya kawan-kawan PRT masih terus berjuang keras untuk mendapatkan perlindungan dan keadilan melalui kepastian payung hukum dalam bentuk UU Perlindungan PRT menjadi belum juga menemui titik terang. Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang diserahkan pemerintah untuk dibahas bersama DPR, saat ini masih tersandera di tangan Ketua DPR RI Puan Maharani. “Belum masuk Bamus (Badan Musyawarah), baru di bahas. Ia turut mempertanyakan sikap DPR RI yang menyatakan bahwa mereka butuh waktu untuk mengesahkan RUU PPRT, “Pertanyaannya, mengapa undang-undang lain justru cepat disahkan?” Sebutnya dengan heran. Ia memberikan contoh beberapa undang-undang seperti Omnibus Law Cipta Kerja dan Omnibus Kesehatan yang disahkan hanya dalam hitungan bulan.
MAHARDHIKA menyampaikan juga ketidak adilan pada pekerja untuk mendapatkan ‘Kerja Layak’ bagi jutaan buruh yang terus berjuang Mencari Keadilan Upah, Jaminan akan Lapangan Pekerjaan, dan Jaminan Perlindungan Sosial. Gagasan akan kerja layak sendiri muncul dari situasi Perkembangan Ekonomi dan Industri yang semakin berfokus pada keuntungan pemilik usaha dan mengabaikan Kemanusiaan para pekerjanya. Seperti contoh pada buruh pabrik garmen saat ini menunjukkan bahwa kerja Buruh Perempuan dikatakan belum Layak. Sistem Kerja Kontrak yang terus diterapkan oleh perusahaan dimana kontrak kerja bahkan ada yang hanya 2 minggu, Upah minimum yang rendah yang tidak bisa mencukupi kebutuhan dan Pencurian Upah seperti lembur tidak dibayar yang menjadi budaya di beberapa pabrik garmen, lalu kerja perempuan yang selalu dibarengi dengan Kekerasan setiap harinya. Dalam UU Cipta Kerja, kebijakan skema pengupahan merujuk pada kepentingan pelaku usaha, padahal harusnya berdasarkan kondisi objektif dan riil pekerja. UU Penanggulangan Bencana tidak mengakomodir kebutuhan khusus perempuan korban bencana, seperti dalam hal kebutuhan reproduksi.
Hal senada disampaikan Tri Ruswati, Wasekjen KSPSI Bidang Perempuan & Anak. Perempuan seharusnya memiliki hak dan kesempatan yang setara dengan gender lainnya. Namun realita yang masih terjadi hingga hari ini, masih banyak kesenjangan yang dialami.
Kesenjangan pada perempuan berdampak pada pelanggaran hak-haknya. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari Budaya patriarki yang sudah tertanam dan mengakar di lingkungan masyarakat Indonesia.
Seperti halnya selama ini perempuan memandang penciptaan lapangan kerja perlu diiringi upaya memperkuat pelindungan bagi keselamatan dan kesehatan pekerja. Hal ini termasuk perhatian khusus pada kerentanan yang dihadapi perempuan pekerja dari diskriminasi dan kekerasan, baik di sektor formal maupun informal.
Sepanjang tahun 2022 terdapat 112 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan pekerja yang diadukan ke Komnas Perempuan. Dari kasus-kasus itu, sebanyak 58 diantaranya adalah yang dilakukan oleh majikan, termasuk empat di antaranya dialami perempuan pekerja rumah tangga (PRT). Kemudian, terdapat sebanyak 11 kasus yang dilakukan perusahaan. Dan 43 kasus itu justru dilakukan oleh rekan kerja”. Catatan Tahunan Komnas Perempuan juga mencatatkan adanya 93 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di tempat kerja yang dilaporkan ke berbagai lembaga layanan dan 859 kasus terkait Perempuan Pekerja Migran Indonesia (PPMI). Adapun pada kasus yang diadukan langsung sebagian besar adalah kasus terkait kekerasan seksual dan terkait kesulitan mengakses hak kesehatan reproduksi dan maternitas perempuan pekerja. Pengalaman pada diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan itu dapat mempengaruhi kesehatan mental dan fisik perempuan pekerja sehingga menghalanginya untuk bekerja secara optimal atau bahkan menyebabkan kehilangan pekerjaannya”.
Ditegaskan juga, dalam hal hak maternity dan paternity pentingnya kebijakan tentang pekerjaan perawatan dan ekonomi perawatan. Karena kebijakan kerja perawatan transformatif yang dapat menciptakan jutaan pekerjaan seraya memastikan dunia kerja yang lebih setara gender. Program ILO untuk “Ekonomi Perawatan, memperkenalkan konsep 5R ekonomi perawatan: pengakuan (recognition), pengurangan (reduction), pembagian (redistribution), perwakilan (representation) dan penghargaan (reward)”. Hanya separuh perempuan Indonesia yang dapat berpartisipasi dalam angkatan kerja, dibandingkan dari lebih delapan puluh persen laki-laki. Konsep 5R dapat mengarah pada perubahan sosial yang diperlukan demi mencegah perempuan meninggalkan dunia kerja akibat tanggung jawab perawatan dan rumah tangga”. Bahwa fungsi reproduksi perempuan dan ketidakseimbangan tanggung jawab pengasuhan anak antara laki-laki dan perempuan menjadi salah satu faktor yang menentukan partisipasi perempuan di pasar tenaga kerja. Untuk itulah perlu segera disahkannya Rancangan undang-undang (RUU) baru tentang kesehatan ibu dan anak (RUU KIA) yang mengusulkan perpanjangan cuti hamil dan melahirkan. RUU tersebut salah satunya mengusulkan perpanjangan cuti melahirkan dari 3 menjadi 6 bulan dan cuti ayah dari 2 menjadi 40 hari, jaminan sosial untuk cuti melahirkan serta perhatian terhadap ekonomi perawatan yang selama ini bekerja di daycare , paud, penitipan lansia, perawat disabilitas atau pelayanan sosial lainnya masih dalam proses peninjauan oleh kementerian terkait, RUU tersebut menerima berbagai respons dari pengusaha atas implikasinya terhadap biaya tenaga kerja, serta dari pekerja atas ketakutan menurunnya perekrutan tenaga kerja perempuan atau pemutusan kontrak selama kehamilan, pungkasnya.
(Penulis: Tri Ruswati)